29 Oktober 2020 lalu adalah peringatan dua dekade Resolusi DK PBB No. 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan (Women, Peace, andSecurity). Resolusi ini adalah sebuah agenda yang dibuat untuk mendorong peran dan perlindungan terhadap perempuan dan anak dalam konflik kekerasan.
Resolusi 1325 juga merupakan wujud pengakuan PBB bahwa perempuan perlu mendapatkan “perlakuan berbeda” dalam situasi perang dan damai. Alasannya, perempuan memang terdampak secara ‘berbeda’ ketika situasi konflik dan pascakonflik terjadi.
Di masa konflik, perempuan berada di posisi yang paling rentan: menjadi korban kekerasan, penculikan, hingga perkosaan yang memang sering menjadi strategi perang kelompok yang berkonflik. Sementara di masa damai, suara mereka nyaris selalu diabaikan dan dianggap tidak relevan karena persoalan ‘perang’ dan ‘perdamaian’ adalah ranah yang maskulin, nilai-nilai feminin yang dimiliki perempuan dianggap tidak relevan di sana.
Kenyataannya, banyak perempuan memainkan peran aktif dalam kondisi perang maupun damai. Dalam kondisi perang misalnya, sebelum ramai keterlibatan perempuan dalam kelompok kekerasan padasatu dekade terakhir, jika merunut sejarah, perempuan telah lama memainkan peran dalam kelompok kekerasan. Keberadaan norma gender yang menganggap bahwa perempuan adalah sosok yang damai dan tidak menyukai kekerasan lah yang membuat fakta ini nyaris tidak pernah diangkat ke permukaan.
Pun dalam keadaan damai, perempuan terbukti berperan dalam proses rekonsiliasi konflik di akar rumput. Sayangnya, lagi-lagi, karena diskursus keamanan dan perdamaian adalah diskursus yang maskulin, keterlibatan mereka tidak dianggap penting dibandingkan para laki-laki di meja perundingan.
Lantas apa yang sudah berubah setelah agenda WPS ini diberlakukan?
Saya ingin sekali membagikan berita-berita bahagia seperti hilangnya kasus kekerasan berbasis gender dalam situasi konflik, atau kemajuan atas peran perempuan yang semakin diakui di meja perundingan. Bahkan kalau bisa, saya ingin mengatakan bahwa resolusi ini berhasil membuat konflik tidak terjadi sama sekali.
Sayangnya, keinginan di mana-mana ya hanya sebuah harapan yang kadang bisa diwujudkan kadang tidak. Kalau kata pepatah, “manusia berencana, laki-laki yang menentukan”.
Nah, loh, kenapa laki-laki?
Laki-lakilah yang memulai konflik, dan yang memikirkan cara mengakhirinya juga laki-laki. Perempuan tidak dilibatkan; peran mereka hanyalah korban. Di saat bersamaan, perempuan yang bertindak sebagai agen perdamaian, kerja-kerjanya juga masih belum banyak diakui padahal perempuan perlu diakui agar bisa tampil di meja perundingan sehingga bisa menawarkan solusi-solusi yang paling dibutuhkan oleh sesama kawan perempuan mereka yang menjadi korban.
Dalam perspektif feminis, diabaikannya perempuan dalam agenda keamanan dan perdamaian adalah satu-satunya hal yang menghambat keberhasilan dalam mewujudkan perdamaian yang berkelanjutan. Pendekatan maskulin—kekerasan dibalas dengan kekerasan seperti yang terjadi ketika menggunakan cara-cara militerisasi—hanya membuat konflik tidak ada akhirnya. Dibutuhkan kompromi, empati, dan sensitifitas yang sebenarnya adalah nilai-nilai feminin yang dimiliki perempuan.
Dikeluarkannya perempuan dalam agenda perdamaian dan keamanan adalah hal yang sudah tidak relevan, apalagi, ancaman keamanan yang dihadapi perempuan masa kini jauh lebih kompleks dari yang pernah ada sebelumnya. Sekarang, perempuan menjadi sasaran rekrutmen dan radikalisasi kelompok teror, sesuatu yang mungkin tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Dari sini saja dikotomi laki-laki sebagai pelindung, dan perempuan sebagai kelompok yang dilindungi sudah tidak relevan. Perempuan sekarang punya agensi untuk melakukan apapun, menjadi pelaku kekerasan, termasuk menjadi orang yang melindungi dirinya sendiri.
Perlindungan yang ditawarkan oleh laki-laki juga terbukti sebagai perlindungan yang semu karena sering kali keamanan dalam perspektif mereka tidak beririsan dengan keamanan untuk perempuan yang meskipun tidak berada dalam situasi konflik tapi tetap berhadapan dengan masalah patriarki sehari-hari. Karena bagi perempuan, ancaman keamanan bukan hanya perang dan kekerasan langsung, namun juga kekerasan di ruang domestik seperti peminggiran perempuan, dan kerja-kerja mereka yang dilihat tidak memiliki nilai.
Dalam konteks Indonesia, peran perempuan dalam agenda keamanan dan perdamaian juga masih tidak signifikan. Kebijakan keamanan negara lebih banyak bernilai maskulin karena diproduksi oleh institusi hegemonicmasculinity—dominasi lembaga militer, sehingga tidak banyak peran perempuan bisa ditemukan di sana.
Jumlah perempuan yang bekerja di institusi keamanan juga masih sangat sedikit. Dampaknya, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan tidak peka terhadap gender karena menimbulkan ketakutan atas kekerasan fisik dan seksual bagi perempuan yang menjadi tahanan, saksi, atau anggota keluarga yang ikut diinterogasi atas kesalahan keluarga laki-laki mereka. Pendekatan ini juga cenderung rentan terhadap pelanggaran hak asasi manusia.
Agar hal ini tidak terus menerus terjadi, pemerintah harus memastikan komitmen yang lebih serius dalam upaya mengintegrasikan agenda perempuan, perdamaian, dan keamanan. Hal ini bisa mulai dilakukan dengan menginvestasikan lebih banyak sumber daya pada perempuan, khususnya dalam pelibatan perempuan di seluruh agenda perdamaian dan keamanan.
Kemajuan perempuan adalah poin penting untuk mencapai stabilitas dan mengurangi kekerasan politik. Hal ini sesuai dengan banyak sekali penelitian yang menyebutkan bahwa negara yang perempuannya berdaya, terbukti jauh lebih aman. Sesuai dengan gubahan pada pepatah, “(Wo)men sana in corpore sano” dalam negara yang sehat, terdapat perempuan yang kuat.