Bagaimana Peliputan Terorisme yang Kritis Membantu Kita Keluar dari Kondisi Krisis

Terorisme hanya berhasil jika aksi teror secara luas dikomunikasikan. Tanpa adanya peliputan, audiens dari aksi teroris hanya terbatas pada mereka yang terdampak oleh serangan.
(Schoeman, 2017)

Bagaimana Peliputan Terorisme yang Kritis Membantu Kita Keluar dari Kondisi Krisis

Aksi terorisme bukanlah aksi kekerasan yang semata-mata dilakukan untuk mencari korban, tetapi juga bertujuan untuk menyebarkan ketakutan. Karenanya, teroris membutuhkan “panggung” untuk dapat mencapai audiens yang seluas-luasnya. Dan panggung itu sering kali disediakan secara sukarela oleh media massa.

Banyak studi telah dilakukan untuk menelusuri hubungan terorisme dan media massa. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa memang ada hubungan simbiosis di antara keduanya. Teroris misal, membutuhkan media untuk mempromosikan aksi mereka serta menyampaikan pesan dan propaganda. Sementara media, membutuhkan teroris karena mereka adalah sumber berita yang “berharga”, mendatangkan klik, rating, iklan, dan keterbacaan yang semuanya berujung pada keuntungan.

Di sinilah jurnalis—pekerja media yang tidak sepenuhnya mendapat keuntungan dari berita-berita terorisme yang dibuatnya—berada pada dilema. Di tengah kecepatan informasi di era digital, jurnalis selalu diminta untuk menyajikan berita secara real time. Hal ini membuat mereka berisiko memberikan peliputan dengan analisis dangkal, tidak sensitif, berfokus pada sensasi, menguatkan stigma, menelan begitu saja pernyataan satu pihak, hingga menyebarkan spekulasi yang membuka lebar-lebar ruang untuk berita bohong bergentayangan.

Dilema yang dihadapi jurnalis semakin terasa saat situasi krisis seperti ketika serangan teror terjadi. Kebutuhan atas informasi menjadi sangat mendesak karena masyarakat perlu mengetahui apa yang sedang terjadi dan bagaimana kemungkinan komunitas mereka terdampak dari kejadian tersebut. Informasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi dan apa yang bisa dilakukan untuk mencegah serangan serupa di masa depan.

Tapi di sisi lain, ketika melakukan peliputan, berita mengenai keberhasilan serangan teroris dapat secara sukses menurunkan persepsi publik terhadap kapasitas negara dalam memastikan keamanan masyarakat. Memusatkan perhatian terhadap kelompok teror juga membuat profil teroris tampak menjadi lebih kuat. Berbagai spekulasi mengenai pelaku, motif, dan perdebatan mengenai kapan, di mana, dan bagaimana kemungkinan aksi susulan terjadi—ketika masih sangat sedikit bukti di lapangan yang tersedia—juga berpotensi membuat masyarakat “melebih-lebihkan” kemungkinan insiden terorisme yang membuat ketakutan semakin berlipat gandadan kian mencekam. Padahal, dalam realitas yang ada, kemungkinan serangan membabi buta oleh kelompok teroris sebenarnya bisa jadi tidak ada.

Dengan menyediakan liputan yang sangat luas terhadap kelompok teror, media secara aktif membiarkan dirinya digunakan oleh kelompok-kelompok teroris untuk memproyeksikan kekuatan yang kemungkinan besar tidak mereka miliki. Hal ini menyebabkan beberapa pengkaji berpendapat bahwa efek dari liputan terorisme yang meluas mendorong tindakan serupa karena penggunaan teror sebagai sebuah taktik terbukti dianggap berhasil.

Menarik juga untuk memproblematisir mengenai paparan terorisme yang berlebihan melalui media—sehingga melebih-lebihkan persepsi publik terhadap ancaman—justru membuat negara menggunakan tindakan-tindakan di luar kebiasaan yang membuat pada menyusutnya kebebasan sipil sebagai pertukaran untuk keamanan.

Dalam hal ini, media memainkan peran penting yang membantu proses sekuritisasi terhadap respons terorisme dengan membentuk opini publik yang menekan pemerintah untuk membuat respons yang terlampau agresif. Tekanan publik yang berasal dari persepsi berlebihan dapat membawa kepada respons jangka pendek yang kontra-produktif karena mendorong penggunaan kekuatan dan pembatasan hak asasi manusia. Respons yang justru membuat masalah baru seperti menerapkan taktik profiling rasial atau penyiksaan untuk merenspons ancaman yang melemahkan prinsip HAM dan penegakan hukum yang menjadi dasar demokrasi.

Respons represif dan tidak demokratis ini adalah respons yang menguntungkan bagi kelompok teroris untuk melemahkan legitimasi institusi demokrasi dengan mengekspos ketidaksesuaian antara nilai-nilai demokrasi yang selalu diagungkan dengan realitas bagaimana pemerintah bekerja—mengancam individu dan komunitas yang dianggap sebagai biang keladi terorisme.

Selain kekerasan, peliputan berita terorisme dalam situasi krisis juga berisiko menyebarkan stereotip dan prasangka, diskriminasi, serta ujaran kebencian. Terlebih di Indonesia, ketakutan terhadap terorisme dihubungkan dengan kelompok muslim. Peliputan berita yang tidak bertanggung jawab dapat menggambarkan suatu kelompok masyarakat sebagai ancaman dan dapat menghasut kelompok lain untuk saling menyerang.

Di sinilah bisa kita lihat bagaimana power atau kuasa yang dimiliki jurnalis dalam melakukan konstruksi retorik tentang padangan mengenai terorisme dan pelaku aksi teror. Jurnalis harus dibuat sensitif atas power atau kuasa yang mereka miliki tersebut. Sehingga menjadi sangat penting untuk memikirkan bagaimana seharusnya jurnalis melakukan peliputan terhadap aksi terorisme dengan tetap menjamin hak masyarakat untuk tetap terinformasi tanpa memberikan teroris kesempatan untuk mendiseminasi gagasan dan menyebarkan ketakutan.

Power yang dimiliki jurnalis harus dipastikan digunakan bukan hanya untuk meluapkan emosi yang sentimental, tetapi juga ajakan untuk berbuat sesuatu yang nyata, realistis, terhadap tragedi yang ada.

Dan bagian terpenting adalah, jurnalis yang meliput teroris harus menggunakan perspektif yang kritis: mereka harus mengedepankan fakta-fakta yang membawa menuju kebenaran, bukan malah mencari-cari penjelasan yang penuh konspirasi dan spekulasi yang sering kali tidak masuk akal.

Jurnalis harus mencari narasumber yang kompeten dan terus menerus melakukan verifikasi dengan mempertanyakan proses penyimpulan yang diambil, menguji validitas data yang digunakan untuk menopang klaim, dan mengorek asumsi-asumsi dasar yang bisa jadi malah tak berdasar.

Saya percaya bahwa pelaporan yang tidak kritis oleh para jurnalis bukan karena mereka abai atau tidak peduli, tetapi ini semua berakar dari pengetahuan jurnalis dan editor mengenai kemungkinan konsekuensi yang merugikan dari peliputan yang mereka lakukan. Mereka belum sepenuhnya menyadari kuasa yang dimiliki jurnalis dan bagaimana peran jurnalis yang kritis dapat membantu negara keluar dari situasi krisis.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top