Penelitian Farha Ciciek secara berkala sejak 2007-2009 di 30 Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (Mayoritas SMUN) di Padang, Jakarta, Pandegelang, Cianjur, Cilacap, Yogyakarta dan Jember, menemukan fakta menjamurnya lembaga-lembaga Ekstra Kurikuler berbasis agama, seperti: Rohis (Rohani Islam), Rokris (Rohani Kristen), Rohbud (Rohani Buddha) dan Rohind (Rohani Hindu). Dalam kesimpulan Farha, kecuali Jember, kegiataan keagamaan SMU cenderung konservatif.
Di antara penandanya adalah semakin merebaknya pandangan dunia yang absolut (dimana klaim kebenaran tunggal bagi kelompok sendiri), kecenderungan intoleransi kepada perbedaan dan mewajarkan diskriminasi terhadap perempuan di lingkungan sekolah. Hal yang sama pun ditemukan dalam penelitian Farid Wajidi, Hairus Salim, dan Wahyu Kustiningsih (2009 dan 2010). Pengaruh gerakan Islamis di sekolah-sekolah umum dapat dilihat dari sepak terjang Rohis (Kerohanian Islam), yang menjadi ujung tombak aktivitas-aktivitas keagamaan di sekolah.
Rohis merupakan lembaga-lembaga ekstra kurikuler sekolah di bawah pengawasan sekolah. Akan tetapi hubungan dan jaringan politik mereka dengan gerakan-gerakan Islamis di luar sekolah, terutama dengan gerakan yang berbasis di perguruan tinggi yang sering berasal dari alumni sekolah itu sendiri, membuat agenda dan tujuan mereka lebih politis-ideologis, melampaui tujuan kelembagaan ekskul yang digariskan oleh sekolah.
Melihat data tersebut, untuk membentengi diri dari ideology radikalisme, dibutuhkan support system. Orangtua menjadi support system tersebut. Senior Officer Media and Kampanye Wahid Foundation, Siti Kholisoh menyebutkan jika terdapat banyak factor sosial dan personal yang untuk menarik seseorang menjadi radikal. Untuk membentengi anak dari hal tersebut, diperlukan system kebijakan yang dibuat sekolah.
”Di sekolah perlu perimbangan narasi persepsi yang sudah dimiliki oleh anak-anak. Misalkan sekolah bisa mengontrol forum informal. Kedua, untuk guru harusnya memiliki pandangan yang cukup terbuka, sehingga proses KBM terdapat nilai toleransi,” ungkapnya.
Dalam beberapa kali dampingan, jika rohis dan rokis tidak pernah ada pertemuan. Ini menandakan jika sekolah belum embuat desain perjumpaan dua kelompok yang berbeda. Dengan mempertemukan kelompok yang berbeda ini, ini bisa menjadi model perimbangan narasi. Lebih jauh, selama ini teman-teman rohis diwarnai dengan narasi yang ekslusif, pandangan kelompok yang berbeda dan lainnya.
”Hal tersebut, membuat anak-anak rohis tidak boleh berteman dengan kelompok yang berbeda. Tetapi kemudian sekolah bisa menjembatani dialog dan ruang perjumpaan. Pertemuan ini membangun narasi pembanding dilakukan oleh kelompok rohis,” terangnya.
Di tempat yang sama, Dosen Psikologi Universitas Pancasila, Muhammad Akhyar memandang jika terdapat kebutuhan anak rema untuk melengkapi diri dengan identitasnya. Dalam kontek masyarakat Indonesia yang selalu mengklaim diri sendiri dan self claim sebagai masyarakat religious, dibutuhkan identas religious tersebut.
”Tidak jarang orang tua senang dengan anak-anak rohis. Begitu juga guru senang dengan anak-anak rohis. Bahkan dalam beberapa kali FDG yang dilakukan jika beberapa guru senang melakukan hal tersebut,” ungkapnya.
Akan tetapi, identitas dan konten pemahaman keagamaan itu berbeda. Semacam tendensi. Sehingga anak-anak rohis menjadi jalan adanya proses ekstremisme. Tetapi tidak mencukupi karena perlu ada aspek lain agar anak bisa menjadi radikal dan menjadi ekstremis. Selama ini, sekolah tidak melihat rohis sebagai ancaman. Sebagaian orangtua malah senang anaknya masuk rohis.
”Dengan kata lain, orangtua lebih senang anaknya masuk rohis dibandingkan masuk Bar. Perspekif lainya, anak saya lebih baik dilarang pacaran dibandingkan pacaran dengan melakukan hal lainnya,” pungkasnya.