Cegah Ekstremisme di Lingkungan Kementerian, Saat ini Kemenag Mulai Terapkan Moderasi Agama

Setelah HTI dibubarkan ideology khilafah hilang, malahan HTI semakin tidak terkendali. Bahkan menjadi organisasi tanpa bentuk dan membuat kesulitan Kapuslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagamaan, Adlin Sila menjelaskan, pemerintah tidak boleh menggunakan kebijakan ala militer dan kebijakan yang diskriminasi.

”Dua hal itu akan mendiamkan mereka dengan sesaat. Kita perlu mengingat, saat reformasi semua hilang. Kita ingin adanya moderatisme yang langgeng dan disadari oleh semua pihak, khilafah tidak kontekstual,” ungkapnya.

Cegah Ekstremisme di Lingkungan Kementerian, Saat ini Kemenag Mulai Terapkan Moderasi Agama

NU dan Muhammadiyah merupakan khasanah keilmuan kita dengan melalui literasi. Hal tersebut perlu dicoba. Pihaknya menerangkan ada banyak bantuan dari ulama perempuan, perempuan dan anak menjadi target yang rentan bagi kelompok transnasional untuk menjadi korban. Pihaknya butuh agenda kapasitas ulama perempuan untuk meng-counter narasi tersebut.

”Untuk pelatihan moderasi agama yang telah dilakukan, saat ini sudah memasuki angkatan kelima, diklat subtantif moderasi beragama dan partisipan sasarannya penyuluh agama di masyarakat, “ katanya.

Pada pelatihan tersebut, tidak hanya islam, namun juga pemuka agama di masyatakat. Kita ingin membentuk penyuluh agama moderasi beragama. Para peserta saat ini dilatih tentang indikator moderasi beragama. Di antaranya adalah wawasan beragama, menyepakati pancasila dan undang-undang dasar sebagai konsesus nasional.

Terkait tentag toleran meskipun berbeda keyakinan tidak memaksanaan keyakinan dia untuk ikut. Serta anti kekerasan. Saat ini, terdapat kesepakatan dengan Kepala Biro Kepegawaian, agar supaya rekrutmen ASN konsep moderasi beragama harus diterapkan. Pihaknya sempat membuat pertanyaan untuk rekrutmen dosen di UIN. Untuk eselon 1 harus ada tentang wawasan kebangsaan.

Adaktif terhadap budaya lokal atau tradisi setempat, musuh dari ideology transnasional ini ingin memfurifikasikan budaya lokal. ”Kita bisa lihat dari jawaban mereka untuk pretest dan post test. Ada tambahan lagi, kami akan menargetkan guru agama, dari guru agama ini akan menghasilkan materi ajar yang tidak toleransi. Mulai dari MI hingga MA. Seperti itu, apa yang sudah kami lakukan,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top