Bagaimana Karakter Kelompok Fundamentalis dan Radikalisme?

Isu fundamentalis dan berkembangan radikalisme keagamaan menjadi salah satu isu yang tidak bisa terhindarkan belakangan ini. Keduanya, menjadi perdebatan di ruang sosial media yang menarik kalangan anak muda untuk mengetahui isu tersebut lebih jauh. Bahkan, dalam tren sosial media tahun 2020 ini KUPI (Kongress Ulama Perempuan Indonesia) dianggap salah satu rujukan anak muda untuk menjawab isu tersebut.

Upaya KUPI melakukan counter narasi dengan melakukan upaya membanjiri media sosial dengan wacana kesetaraan gender dari perspektif islam. KUPI juga membangun logika beragama yang menggunakan akal sehat dengan menyandarkan pada nalar kritis yang menghargai pengalaman biologis dan sosial perempuan. Serta menyuguhkan argumentasi yang kuat tentang keberpihakan agama rasional.

Bagaimana Karakter Kelompok Fundamentalis dan Radikalisme?

Dekan Fakultas Ushuluddin Dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga menjelaskan masyarakat sudah berbondong-bondong merujuka ke mereka. ”Dari 2005 saya sudah menelitian mereka. Saya dari tahun 1996, akhir-akhir ini kelompok radikal pas reformasi hampir di setiap kelas ada. Atau dipengajian ada, dari Bahasa mudah dikenali. Ketemu dengan mereka, bertemu dengan saudara yang so sweat. Sehingga, di masyarakat sudah menghegemoni karena interaksinya sangat hangat dan terbuka,” terangnya.

Sebelum tahun 2017, dia menjelaskan ketika saat dirinya mengajar ada yang bertanya masalah agama. Namun, menjadi pintu masuk, mereka juga cerdas dalam hal berpolitik. Soal agama, memang dimatikan, pemikiran dan mainset. Ada prototype fikroh tipe mereka seperti buku dari hasan albana. Kelompok ekstremisme ini berdakwah dengan sederhana sesuai dengan kebutuhan masyarakat, kalau anak muda bicara pacaran.

Misalkan dengan pacaran yang hamil duluan, kelompok ekstremisme akan menarik kepada negara yang tidak becus mengurusi dan pasti pesannya khilafah. Masalah cabe hingga ke pemerintah. Bicara tentang kebutuhan masyarakat. Kelompok ekstremisme ini akan masuk ke masyarakat dengan melalui hal-hal yang sangat sederhana. Setelah itu, masuk melalui keluarga. Lalu, di pertemanan dan kampus menjadi basic pertama mereka.

Kemudian di masyarakat, mereka akan masuk melalui pengajian. Itu caranya yang dilapangan, mereka itu ikut acara tahlilan, mereka akan bilang tahlilan gak boleh ke sebelahnya. Mereka akan bicara secara personal dengan membantah, mereka akan easy going untk diskusi.

”Sumbernya memang tunggal dan menjadi strategi mereka. Beberapa kali mengikuti kajian masyarakat, tidak banyak menyebutkan ayat. Kalau di kelas yang banyak ngomong dan pakaian yang khas. Sumbernya tunggal, alasannya sangat pragmatis sekali. Baca buku aja susah apalagi baca buku banyak dengan bahasa arab,” ungkapnya.

Alasan kedua, terlalu banyak baca tidak singkron. Dengan membaca buku satu, umat akan solider. Jadi, itu masalahnya ke masyarakat. Menarik di antara kelompok mereka, mereka anti kekerasan. Prinsipnya tidak boleh melakukan kekerasan. Ciri-cirinya kelompok apapun, mereka berani adu otot dan debat.

Kelompok ekstremisme ini, lanjutnya, menyoroti masalah politik global. Mereka sangat tahu peta politik. Dari 1995-1996, tipologi mereka seperti itu. temuan menarik perempuan sangat aktif di dalam dan luar rumah. Di masyarakat ada banyak pola pikir masyarakat, terutama perempuan akan garap komunitas perempuan. mereka bergerak dalam perspektif gender namun menentang gender.

”Salah satunya contohnya dengan adanya gender, perempuan menentang suami. Seolah-olah sistematik, kenapa perempuan harus nurut laki-laki, agar tidak ada konflik di rumah tangga. saya pernah mewawancarai salah satu musrifah HTI bertanya tentang poligami, mereka menjawab untuk tidak memiliki keinginan dan lebih menjawab sebagaimana keinginan tuhan,” terangnya.

Sehingga, ungkapnya, itu menjadi hal yang dianggap terserah suami. Jika suami yang belum berpoligami, dianggap keta’atannya diragukan. Untuk semakin taat, akan berani poligami. Hal yang berat adalah laki-laki, untuk perempuan menahan untuk tidak poligami, memang otak sudah dikuasi sebagai perempuan harus taat, jika proses nanti akan menimbulkan perceraian.

”Sehingga, gender ini harus dilawan. Jangan biarkan perempuan bekerja, apalagi jika gajinya lebih tinggi. Di mana perempuan bisa mandiri, hal ini akan menimbulkan konflik. Seolah –olah lurus padahal sesat,” pungkasnya.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *


Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top