Lahirnya Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE), menjadi harapan pintu gerbang kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
Faktor pemicu timbulnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme bersifat kompleks, dan memerlukan sinergisitas berbagai pihak untuk mencegah dan menanggulanginya. RAN PE dalam memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Dalam implementasinya diharapkan RAN PE dapat menjadi payung hukum untuk kerja-kerja kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil bersinergi mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan, sekaligus merawat perdamaian.
Menurut Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah, RAN PE merupakan langkah yang maju untuk indonesia untuk membuat dokumen strategi yang konfrehensif lintas sector. Keterbukaan peran masyarakat sipil. Dalam RAN PE, pemerintah ingin menekankan bahwa tidak cukup dilakukan oleh sector pemerintah dan keamanannya.
”Melalui RAN ini, peran serta masyarakat sipil penting untuk terlibat dalam lkonstek pencegahan yang lebih luas. Perspektif gender dan perlindungan anak menjadi hal yang penting dalam RAN PE,” ungkapnya dalam diskusi WGWC memperingati hari Anak Nasional.
Diskusi kali ini, lanjut dia, akan mempertebal aspek perlindungan anak. Tentu berbicara pada perlindungan anak tidak lepas pada aturan yang mengaturnya. Dalam kontek perlindungan anak, anak tidak tunggal. Ada dalam situasi yang situasi yang beragam.
Di saat yang bersamaan, Founder Institute Perempuan Valentina Sagaka mengungkapkan jika lahirnya Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme Tahun 2020-2024 (RAN PE), menjadi harapan pintu gerbang kerjasama antara pemerintah dan masyarakat dalam pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
”Faktor pemicu timbulnya ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme bersifat kompleks, dan memerlukan sinergisitas berbagai pihak untuk mencegah dan menanggulanginya,” ungkapnya.
RAN PE, lanjutnya, akan memperkuat upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan. Dalam implementasinya diharapkan RAN PE dapat menjadi payung hukum untuk kerja-kerja kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat sipil bersinergi mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan, sekaligus merawat perdamaian.
Salah satu poin penting dalam RAN PE adalah mengangkat isu pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak. Hal ini tercermin dari berbagai rencana aksi yang telah disepakati bersama, yang mengusung isu pemenuhan hak anak dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan.
”Mengapa pemenuhan hak anak menjadi satu hal penting dan bagaimana hal ini bisa diintegrasikan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan? Karena setiap anak dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi,” terangnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mengamanatkan pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak. Namun dalam kenyataannya, masih ada orang tua dan masyarakat yang mengajarkan radikalisme serta mengajak anak melakukan tindak pidana terorisme yang menimbulkan suasana teror atau takut secara meluas serta menimbulkan korban yang bersifat massal sehingga dapat mengganggu tumbuh kembang anak.