Adanya peningkatan Napiter perempuan dalam beberapa tahun terakhir perlu menjadi perhatian. Menurut Peneliti Yayasan Prasasti Perdamaian, Rifana Meika, hal ini mungkin berhubungan dengan kelompok teroris internasional yang mengumumkan bahwa perempuan wajib ikut mengangkat senjata bahkan ikut berjihad. Sehingga berpengaruh pada kelompok pro-ISIS yang ada di Indonesia karena memang napiter perempuan yang ada di Lapas Indonesia ini didominasi oleh kelompok pro-ISIS.
”Sebetulnya belasan ini sudah berstatus sebagai napiter. Namun dalam perjalananya, saat ini sudah ada beberapa perempuan yang baru ditangkap, seperti istri dari Ali Kalora bukan yang di lapas Malang, tapi ini ada istri lainnya. Juga ada beberapa perempuan-perempuan lain yang masih dalam proses persidangan, jadi memang untuk Lapas perempuan mungkin harus bersiap lagi jika akan kedatangan napiter lainnya,” terangnya. Dalam agenda WGWC Talk 7.
Dirinya sempat melakukan penelitian berdasarkan pembinaan maupun intervensi yang dilakukan oleh Lapas terhada napiter perempuan. Dari sembilan lapas perempuan yang di dalamnya, hanya ada dua lapas sudah memiliki pengalaman menangani napiter. Untuk Lapas-lapas lainnya ini memang belum pernah sama sekali menangani napiter perempuan. Sehingga tidak heran jika petugas Lapas merasa bingung, takut atau kaget harus gimana, harus ngapain untuk menangani napiter.
Permasalah lain, diungkap olehnya, karena pelatihan yang diberikan untuk pamong masih jarang. Selanjutnya, belum adanya berkesinambungan dan belum adanya pedoman khusus yang secara jelas menjelaskan untuk melakukan pembinaan terhadap napiter perempuan. Sehingga hampir semua Lapas masih melakukan improvisasi menangani napiter.
”Nah, di sini pelatihan dan juga pedoman dinilai cukup pentin untuk menangani napiter, karena walau bagaimana pun, pihak pemasyarakatan ini harus tahu bagaimana melakukan assessment, mengisi profiling atau mungkin hal teknis lain,” ungkapnya.
Terkait tentang resiko, lanjutnya, seperti mendapat ancaman baik dari napiter, keluarga atau kelompoknya. Untuk meminimalisir resiko, di dalam UU Terorisme pasal 33 yang disebutkan tadi, memang sudah tertulis bahwa salah satunya yang dapat perlindungan adalah petugas pemasyarakatan dan keluarganya yang wajib dilindungi oleh negara. Perlindungan ini bentuknya adalah perlindungn dari ancaman fisik dan mental, dan kerahasiaan identitas.
Selain itu untuk meminimalisir resiko, dari sisi pengawasan atau pengamana ini salah satu yang bisa dilakukan adalah menempatkan napiter-napiter ini di sel isolasi. Para napiter perempuan tetap membutuh teman bicara. Sehinga, sel isolasi pun tidak memecahkan masalah, malah menimbulkan masalah lain misalnya dia malah jadi halusinasi dan lainnya.
”Mungkin hal selanjutnya yang bisa dilakukan seperti tadi dijelaskan oleh pamong-pamong bisa dengan menunjukkan siapa yang berkuasa di lapas. Karena napiter ini tetap butuh pamong, misalkan ketika sakit, ketika menghubungi keluarganya,” pungkasnya.