Dalam proses deradikalisasi ada elemen yang sering dilupakan. Salah satunya, proses pendampingan di lapas. Peran para pendamping ini menjadi peranan yang sangat sentral untuk proses tersebut. Ada sejumlah yang perlu diperhatikan dalam proses yang dilakukan oleh para pendamping. Dalam agenda WGWC 7, salah satu pendamping napiter di lapas Suci Winarsih menjelaskan pendekatan sesama perempuan lebih bisa diterima oleh para napiter.
”Terdapat napiter yang hamil sekaligus melahirkan di dalam lapas. Pada saat itu, saya berusaha mencukupi kebutuhan napiter tersebut agar napiter tersebut bisa maksimal mengurus anaknya,” terangnya.
Dirinya coba mengambil hati napiter tersebut dengan mendekati bayinya. Diakui olehnya, bayinya memang dirinya yang mengasuh. Hingga akhirnya, napiter tersebut percaya kepadanya. Di awal ketika napiter tersebut masuk, napiter selalu menolak untuk diajak ngobrol. Bahkan, seringkalinya menolak dan menakut-nakuti para petugas lapas.
Untuk napiter yang dia damping, diungkap olehnya, sudah memiliki banyak perkembangan. Saat ini, sudah mengikuti pembinaan kemandirian. Bahkan, sekarang bekerja di kebun dan menerapkan perkebunan hidroponik. ”Tetapi untuk kegiatan pembinaan kepribadian seperti agamanya itu memang saya belum melepas untuk dia bergabung dengan warga binaan lainnya,” ungkapnya.
Menurutnya, ketika melakukan pendampingan di dalam lapas pengetahuan agama menjadi hal penting. Selama melakukan pendampingan, dirinya mencari sejumlah pemuka agama yang bisa berbicara dengan para napiter yang dia bina. Sempat ada beberapa kali dari universitas di Bandung mengunjungi lapas, tapi tidak ada kelanjutan.
Diakui olehnya, pengetahuan agama dirinya masih kurang cukup. Beberapa kali, BNPT sempat melakukan pelatihan terkait hal tersebut. Namun, masih kurang jelas. Pengetahuan agama menjadi hal mendasar dasar yang dibutuhkan olehnya. Sebab, hal tersebut menjadi senjata jika para napiter ini mengeluarkan dalil agama untuk menyerang para petugas atau pendamping.
”Perjalanan kita membawa mereka untuk balik ke NKRI itu tidak mudah. Sehingga, kita membutuhkan hal tersebut,” tegasnya.
Sehingga, dia menekankan tantangan para pendampung napiter perempuan ini lebih besar daripada pamong napiter laki-laki. Karena harus meluluhkan hati napiter perempuan dan harus coba meluluhkan hati suaminya itu. ”Karena kalau suaminya sudah luluh maka istrinya pasti dibawa juga oleh suaminya. Hal lainnya, para napiter ini, hanya bisa bertemu dengan ustadzah saja sebagai Pembina keagamaan mereka. Sehingga, kita sangat memerlukan para ustadzah untuk berinteraksi dengan mereka,” pungkasnya.