Apa yang terlintas dalam pikiran ketika melihat perempuan bercadar? Tidak sedikit yang menyimpulkan bahwa orang yang memakai cadar adalah teroris, Islam garis keras, tidak cinta terhadap Indonesia, bahkan stigma-stigma lainnya. penulis secara pribadi,masih kerap kali beranggapan perempuan bercadar adalah teroris. Pun hal ini diperkuat oleh beberapa pemberitaan di media massa, kasus pengeboman yang melibatkan perempuan, hampir tidak terlihat perempuan yang memakai jilbab biasa. Semuanya memakai cadar. Aksi teroris di Makassar yang sempat ramai dilakukan oleh pasangan yang baru
menikah, perempuan pada kasus tersebut menggunakan cadar (Kompas.com). Pun aksi Lone Wolf yang terjadi di Mabes Polri beberapa bulan silam oleh ZA juga menggunakan cadar (Tirto.id) beberapa tahun silam tepatnya di Jawa Timur, seperti halnya di Surabaya dan Sidoarjo juga terjadi pengeboman yang melibatkan perempuan dan anak. (BBC Indonesia).
Jika dilihat lebih jauh, selama 2000-2020, Institute for Policy Analysis for Conflict (IPAC) mencatat sudah ada 39 perempuan yang menjadi tahanan dan narapidana terorisme. Ini artinya, babak baru terlibatnya perempuan dalam aksi terorisme adalah perjalanan panjang yang ditempuh. Pergeseran peran perempuan dalam aksi teroris semakin berkembang dengan tampilnya perempuan sebagai pelaku aktif pengeboman. Jika dilihat dari segi pakaian yang dikenakan, semuanya menggunakan cadar. Pakaian tersebut menyebabkan sentimen negatif terhadap pemakainya. Informasi yang diberitakan melalui media menyebabkan masyarakat enggan bergaul dengan para niqabis, muslimah yang cadar. Hal tersebut juga menjadi latar belakang munculnya
komunitas niqab squad, sebagai suara-suara para perempuan yang mengalami sentiment negatif dan kadang perundungan, serta streotipe yang tidak mengenakkan dari masyarakat. Kerap kali dituduh teroris, radikal, hingga sebutan Islam keras lainnya, yang berseberangan dengan Indonesia.
Ideologi teroris menjadi salah satu ideologi yang bertentangan terhadap nasionalisme Indonesia, (Fauzi 2021) Pemikiran ini kemudian terbentuk dengan simbol- simbol para pengikutnya yang menyebabkan generalisasi sepenuhnya terhadap pemakai simbol itu. Seperti halnya cadar. Dari berbagai aksi terorisme yang melibatkan perempuan bercadar, (Rusuli 2021) dalam penelitiannya: “Motivasi Mahasiswi Bercadar dan Responnya terhadap Stereotip Negatif Pengguna Cadar” menjelaskan bahwa penggunaan cadar di kalangan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Takengon Aceh masih
mendapat streatipe negatif sebagai penganut Islam garis keras, teroris, dan lain-lain.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan dalam ruang lingkung kampus Islam, kita bisa membandingkan dengan hasil penelitian (Muhammad Maulana Iqbal: 2020) di kampus umum, yakni Unesa (Universitas Negeri Surabaya), menjelaskan bahwa responden dalam penelitian tersebut kerap kali mendapatkan anggapan negatif tentang atribut pakaian yang dikenakan, sebutan radikalis, ekstremis bahkan teroris sering disematkan kepada dirinya.
Namun, ada hal menarik yang bisa diambil dari hasil penelitian tersebut, bahwa sikap yang ditunjukkan oleh para perempuan bercadar tidak menjauh dari masyarakat.
Justru sikap melebur, menjadi bagian dari masyarakat adalah kewajiban yang dilakukan. dengan begitu, eksklusifitas diri tidak terlihat pada perempuan bercadar, dan pandangan negatif masyarakat tentang perempuan bercadar semakin memudar. Beberapa hasil penelitian diatas secara tidak langsung diperoleh dari informasi yang diberikan oleh media tentang perilaku perempuan bercadar yang selama ini terlibat aksi- aksi terorisme. Berdasarkan fakta yang ditampilkan oleh media tentang keterlibatan perempuan dengan aksi terorisme, bagaimana nasionalisme yang ada pada diri mereka?
Dalam penelitian Ruhayani Dzuhayatin yang berjudul Islamism and Nationalism Among Niqabis Women in Egypt and Indonesia yang diterbitkan melalui Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies. Tulisan ini sebaga ejawantah dari pandangan kita tentang perempuan bercadar. Sejauh ini, framing media dalam menggambarkan perempuan bercadar, menjadikan fakta tersebut sebagai tolok ukur sebuah pemikiran bahwa perempuan bercadar sangat tidak nasionalis. Akan tetapi, hasil penelitian dari Ruhayani justru memberikan pemahaman dan penegasan kepada pembaca, tentang pandangan perempuan bercadar memaknai kecintaan terhadap negaranya. Penelitian tersebut melibatkan 205 perempuan bercadar dari Indonesia dan 87 perempuan bercadar dari Mesir. Data kuantitatif diperoleh dari 292 responden, sedangkan data kualitatif dikumpulkan dari 27 niqabis menggunakan wawancara mendalam enam orang Mesir dan 21 orang Indonesia.
Sebanyak 12 tokoh di Mesir dan Indonesia diwawancarai dan dua diskusi kelompok terfokus dilakukan di kedua negara yang melibatkan aktivis perempuan, akademisi, pegawai pemerintah, dan pemuka agama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa derajat nasionalisme yang diukur dengan kebanggaan warga negara menunjukkan hasil yang menjanjikan. Hanya 20% orang Indonesia, dan 3% orang Mesir, perempuan bercadar mengungkapkan ketidakpuasan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak bangga menjadi warga negara mereka. Artinya, 80% hingga 97% dari mereka masih memegang teguh nasionalisme, meski
aspirasi mereka untuk mengadopsi sistem kekhalifahan, yang sedikit di atas 50%.
Ini artinya, kita perlu membuang pandangan hitam-putih terhadap segala hal yang dipelajari dan diberikan oleh media. Sejauh ini aksi teroris yang melibatkan perempuan adalah bercadar, akan tetapi tidak lantas menjadi kehalalan dan kebenaran pandangan bahwa setiap perempuan bercadar adalah teroris dan tidak setuju dengan negara Indonesia, bahkan klaim tidak memiliki jiwa nasionalis. Mindset tokenism perlu dikonstruksi kembali dalam benak kita dengan tidak mengedepankan ego, apalagi perilaku Islamofobia yang menjadi virus dalam diri harus dibuang sejauh mungkin. Cadar hanya aksesoris yang terkadang oleh sebgian orang dijadikan kambing hitam untuk melakukan aksi teroris, agar citra perempuan bercadar terus menjadi bulan-bulanan masyarakat. Padahal seyogyanya tidak setiap perempuan bercadar, pelaku terorisme, tidak nasionalis, bahkan bercita-cita mendirikan negara Islam.