Dalam program pencegahan ekstremisme, masyarakat sipil menjadi elemen penting. Ada banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menciptakan daya tangkal masyarakat terhadap ekstremisme. Kementerian PPPA, memiliki program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM).
Menurut Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme, Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Wendy Wijayanto program tersebut pelibatan aktif masyarakat pada memberikan upaya perlindungan, tidak hanya untuk anak tetapi juga masyarakat pada umumnya. ”Kita di Deputi Tumbuh Kembang itu ada Pusat Pembelajaran Keluarga. Nah itu mirip dengan P2TP2A tapi programnya itu kita sinkronkan, di sana penguatan ketahanan keluarga itu menjadi titik beratnya, jadi mulai memberikan konseling, pendampingan, penguatan psikis, di sana juga ada psikolog,” katanya.
Kementerian PPPA mencoba mengintegrasikan bahaya paham radikalisme dan terorisme ini melalui program Orang Tua Hebat. Lalu mendorong anak-anak di Forum Anak Nasional di berbagai daerah itu untuk lebih aktif sebagai pelopor dan pelapor. Mereka diharapkan bisa mengajak anak-anak di kota/kabupaten/wilayahnya untuk lebih aktif terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang akan atau sudah mereka kerjakan.
Untuk program yang ada di daerah, bekerjasama dengan P2TP2A, Puspaga dan Pemda. Seperti yang di amanatkan di UU Pemda ada di salah satu pasal bahwa urusan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Kementerian PPPA juga melakukan advokasi ke Pemda. Misalnya agar Puspaga dan P2TP2A itu ada. ”Kita melakukan pendampingan misalnya mereka awal mau membuat itu kita berikan advokasi untuk seperti ini SOP, Permen dan mereka bisa adopsi untuk mereka terapkan di wilayahnya,” katanya.
Program tersebut, lebih ke tanggung jawab atau inisiatif dari daerah masing-masing. Tapi, pihaknya mengklaim program tersebut sudah banyak dilakukan oleh pemerintah daerah. Sedangkan KPAI sendiri, berfungsi mendorong pada banyak kementerian untuk melakukan kolaborasi.
”Kadang berbicara radikalisme tidak harus menunjukkan soal radikalisme. Saya ingat saat saya melakukan penelitian di Ambon, seorang narsum saya bercerita dia pramuka tapi pada saat konflik di Ambon, lalu dia ikut Amrozi dan dia dimarah-marahin terus sama Amrozi karena dia suka nyanyi dan bertepuk tangan. Itu ternyata menjadi penangkal yang indirect,” terang Komisioner KPAI, Rita Pranawati.
Diakui olehnya, ada banyak hal yang bisa diupayakan termasuk mengenalkan tentang keberagaman. Mulai dari para guru mengajarkan tentang inkusivitas sebenarnya sama dengan mengajarkan mencegah dari radikalisme. Ada buku-buku misalnya yang diproduksi Kemendikbud itu untuk anak-anak usia dini juga boleh. Hal lainya, tentang Celebrate Diversity dan lainnya.
Termasuk dalam konsorsium bersama itu ada upaya-upaya, misalnya ada satu kasus yang di Sukabumi, pada anak-anak yang belum menjadi pelaku tapi sudah masuk pada konsep radikalisme. Salah satu kasus yang pernah dia tangani adalah di salah satu sekolah di Sukabumi.
”Sampai ada ada proses dimana KPAI masuk terkait SOP penangkapan tapi memang ada titik tertentu dimana itu bablas gitu. Saya ingat KPAI pernah membuat nota keberatan karena saat penangkapan itu ada anak dst, padahal sebelumnya itu sudah berjalan dengan baik,” pungkasnya.