Menurut Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta menyebut homeschooling (HS) rentan akan penyebaran paham radikalisme. Pembelajaran yang fleksibel, penjauhan anak-anak dari nilai-nilai umum, dan longgarnya pengawasan pemerintah menjadi celah untuk menyuburkan transfer ilmu agama secara radikal.
Berdasarkan penelitian yang diambil dari 56 sampel HS yang tersebar di Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi), Bandung, Solo, Surabaya, Makassar, dan Padang, ada lima HS yang terindikasi terpapar radikalisme. Kelimanya merupakan HS berbasis ajaran Islam yang bersifat eksklusif. Hal tersebut ditanggapi oleh Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme, Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Wendy Wijayanto.
”Untuk homeschooling sendiri dalam prakteknya tentu dari KPPPA harus ada koordinasi dan kerjasama Kemendikbud. Untuk memantau praktik homeschooling sendiri kita misalnya mengusulkan pembatasan untuk lembaga yang mengadakan program homeschooling dengan melihat latar belakang guru yang akan mengajar di sana,” terangnya.
Homeschoooling, menurutnya, dianggap sebuah inovasi dan terobosan baru di dalam pendidikan. Hanya yang jadi perhatian kita juga perlunya homeschooling tidak jadi cluster baru penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme. Sehingga, harus dipastikan guru yang memberikan materi-materi atau mengajar tadi terbebas dari paham radikalisme atau tidak pernah terlibat dengan jaringan terorisme.
Karena selama ini sering terorisme dikaitkan dengan sentimen agama. Mulai paham ideologisnya, paham ajaran-ajarannya. Sehingga, kita harus berhati-hati terhadap materi yang disampaikan. Untuk segi pendidikan, ungkapnya, dalam KPPPA sendiri terdapat Asisten Deputi Pendidikan Anak di Deputi Tumbuh Kembang Anak. Sehingga masalah homeschooling ditangani oleh mereka.
”Pihak KPPPA berkomunikasi dengan kementerian terkait masalah homeschooling,” pungkasnya.