Dalam undang-undang perlindungan anak, terdapat sejumlah acuan terhadap Anak Berhadapan Hukum (ABH). Salah satunya adalah anak jaringan terorisme. Dalam ABH mengenal namanya anak korban, anak pelaku dan anak saksi. Begitu juga dengan kasus terorisme. Hal itu diunkap oleh Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme, Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Wendy Wijayanto.
”Paham atau konsep yang kita kembangkan di kita itu bahwa anak itu tetap saja adalah sebagai korban, karena anak-anak itu kita tidak bisa menganggap anak itu stereotipe orang dewasa. Memang dari sisi usia atau tumbuh kembang mungkin benar. Tapi secara psikologis dan metal, mereka itu tidak sama seperti kita,” katanya.
Hal kedua, lanjut dia, ketika anak-anak yang korban yang secara psikologis ini mengalami tekanan-tekanan dari kejadian yang kemudian dialami, dirinya berpikir disebabkan karena kejadian tersebut mereka sampai kehilangan figur orangtua yang lekat. Lalu, potensi anak mengalami stigma dari lingkungan berpengaruh pada tumbuh kembang dan psikis mereka jadi tidak stabil kedepannya.
Sehingga, mereka harus dilakukan penanganan yang namanya trauma healing. Kementerian PPPA, sekarang sering melakukan kerjasama dengan lembaga atau KL terkait. Misalnya BNPT, Kemensos dan kementerian lainnya. Hal ini dilakukan agar anak tidak terjadi trauma berkepanjangan. Jika tidak diberi trauma healing, kita berpotensi melanggar hak anak sebagaimana yang diatur dalam konstitusi UUD 1945 diamanatkan di pasal 28 B ayat 2 itu, bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta atas perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi.
”Nah dari sini berarti dari kacamata perlindungan anak, kita bisa menyimpulkan bahwa anak itu berhak menyatakan pendapatnya sesuai apa yang dia dengar, rasakan dan alami tadi,”
Dari yang diinformasikan anak tadi, bisa menjadi alat bukti untuk mencari kebenaran. Artinya dalam meringankan hukuman atau memberatkan sanksi bagi pelaku.