Dalam penanganan anak-anak korban ekstremisme, KementerianPPPA telah melakaukan banyak hal. Salah satunya, berinisiatif untuk terlibat dalam penyusunan dan revisi UU Peradilan Anak. Begitu juga dengan Undang-undang Sistem Peradilan Pidana Anak dan peraturan-peraturan turunan yang ada dibawahnya.
”Selain itu di UU PA di sana sudah mengatur perlindungan khusus untuk anak termasuk anak korban jaringan terorisme. Nah, undang-undang tersebut diamanatkan bahwa kewajiban untuk penanganan anak ini tidak bisa hanya dikerjakan oleh satu KL atau satu stakeholder, tetapi semua,” kata Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme, Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Wendy Wijayanto.
Mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dan Kementerian atau lembaga lain yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus ini. Saat ini, misalnya Kementerian PPPA kan sudah berhasil menyusun Peraturan Menteri PPPA No 7 tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme.
Peraturan tersebut, bisa menjadikan acuan bagi kementerian atau lembaga terkait pemerintah daerah atau lembaga yang dibentuk masyarakat ini dalam memberikan perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme. Pedoman ini tujuannya penyusunan untuk melindungi anak korban, anak pelaku dan anak saksi dari paham radikalisme dan tindak pidana terorisme itu sendiri.
Dan pedoman ini meliputi langkah-langkah yang diperlukan dalam tindakan pencegahan, lalu edukasi tentang pendidikan dan nilai-nilai ideologi asionalisme, konseling yang tentang bahaya terorisme dan radikalisme. Hal lainnya, rehabilitasi sosial hingga rehabilitasi psikososial.
”Kita juga tuangkan di sana namanya pendampingan, pelaporan, evaluasi atau layanan lain. Nah, Peraturan Menteri kita ini juga berisi tentang rencana aksi perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme yang berisi kegiatan-kegiatan yang sifatnya itu preventif atau pencegahan ataupun penanganan,” terangnya.
Selama ini, KPPPA memiliki kebijakan perlindungan anak dari tindak pidana terorisme. Pihaknya, juga melakukan fasilitasi atau pendampingan untuk mendorong KL terkait misalkan Pemda untuk bisa membuat Peraturan Gubernur, Peraturan Daerah atau peraturan-peraturan juknis yang ada di daerah dalam rangka inklusi penyusunan kebijakan yang diemban oleh KPPPA.
Bahkan, dari Perpres terbaru no 62 tahun 2020, KPPPA mendapatkan instruksi baru atau perintah bahwa bisa melakukan pelayanan. Misalkan melalui program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), lalu Forum Anak Nasional atau juga Forum Koordinasi dengan KL terkait.
”Jadi saya pikir perlindungan masyarakat terhadap terorisme ini sangat penting karena mereka sebagai ujung tombak dan garda terdepan. Sehingga harus bisa berperan aktif dalam proses rehabilitasi dan reintegrasi sosial,” katanya.
Terdapat program lainnya, tentang ketahanan keluarga, di mana Bappenas memfasilitasi kita, Kementerian PPPA kemudian MK lalu juga Kementerian Diknas atau Kementerian Agama untuk mensinergikan program untuk bagaimana tentang ketahanan keluarga ke depan. Hal ini dilakukan supaya penguatan peran orangtua dan tumbuh kembang anak dalam keluarga itu bisa dipertajam. Pihaknya menyadari segala sesuatu permasalahan yang terjadi pada anak itu sebenarnya bermula dari keluarga.
”Terkait, perlindungan anak dari jaringan terorisme ini misalnya mulai tugas mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi anak sampai memastikan tumbuh kembang mereka sesuai dengan kemampuan bakat dan minatnya. Serta memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak,” pungkasnya.