Anak-anak korban terorisme, baik anak dari korban bom atau anak dari pelaku terorisme memiliki trauma. Menurut Psikolog BRSAMPK Handayani, Euis Heni Mulyani, dari kacamata psikologi, pengalaman anak korban maupun pengalaman anak pelaku itu tentu terpengaruh kondisi psikologis dan kejiwaannya.
”Itu sudah pasti. Mulai dari kehilangan rasa percaya diri, kemudian trauma berkepanjangan. Bahkan ada phobia terhadap hal-hal tertentu seperti terhadap cermin, foto atau kabut itu yang teridentifikasi seperti asap bom seperti itu. Kemudian hingga perasaan depresi yang mendalam dikarenakan ditinggal oleh orang-orang yang mereka cintai,” ungkapnya.
Perubahan kondisi psikologis, lanjutnya, adalah hal yang umum terjadi akibat terviktimisasi. Adanya perubahan sifat sementara biasanya berupa kelabilan emosi yang mudah terpancing dan para korban mudah emosi dalam bertindak dan mudah meledak-ledak.
Akan tetapi, hal ini tergantung pada kondisi mental anak itu tersendiri. Kemudian tingkat perkembangan anak dan usia anak sangat berpengaruh terhadap penerimaan terhadap sesuatu peristiwa. Akan tetapi, ketika anak-anak itu masih dalam usia kecil dia belum paham jadi itu cenderung traumanya tidak berkembang. Namun anak-anak usia remaja yang sudah mengerti, biaanya anak tersebut traumanya berkembang begitu.
Biasanya reaksi yang mereka alami ini rasa takut yang amat besar jadi amat berlebihan terhadap sesuatu hal yang seharusnya tidak perlu ditakutkan. Misalnya, terhadap gelap, terhadap gelap menjadi takut. Kemudian cemas akan keterpisahan, lalu anak yang awalnya mandiri menjadi dia lebih lengket dan lebih manja.
”Lalu, biasanya daya konsentrasinya menurun, sensitif dan mudah marah. Itu kemudian gejala-gejala tersebut sangat wajar sebetulnya, namun yang tidak wajar adalah trauma yang berkepanjangan akibat dari support yang kurang dari keluarga sebetulnya,” pungkasnya.