Selama ini, cerita anak korban ekstremisme kekerasan nampaknya jarang terdengar suaranya di Indonesia. Padahal, tidak sedikit anak-anak korban ekstremisme kekerasan mengalami trauma atas orangtuanya. Di saat yang bersamaan, tidak jarang anak korban ekstremisme kekerasan ini mendapatkan stigma di masyarakat.
Dalam cerita singkat pendampingan yang dilakukan oleh Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP), anak korban ekstremisme kekerasan masih banyak yang menolak program deradikalisasi. Bahkan, tidak sedikit anak yang didampingi tidak mengeluarkan pendapatnya ketika dilakukan pendampingan.
BRSAMPK Handayani menerima 13 anak korban radikalisme, yang mana 7 diantaranya merupakan anak korban teror bom di Surabaya dan Sidoarjo, sedangkan sisanya korban untuk kasus lain. BRSAMPK Handayani memiliki terapi khusus kepada kasus bagi korban radikalisme. Di mana para korban harus menempuh pendidikan pesantren dan dilakukan sejumlah asssesstment. Serta terapi untuk memulihkan trauma. Begitu juga, anak dari korban terorisme, sama-sama menjadi korban.
Menurut Komisioner KPAI, Rita Pranawati, menjelaskan anak-anak tidak bisa memilih siapa orantua mereka. Sehingga, hal yang penting bahwa setiap anak lahir harus dilindungi harkat martabat kemanusiaannya dalam keadaan apapun orang tuanya. ”Karena sebenarnya dalam konteks perlindungan anak meskipun kadang anak dianggap sebagai entitas yang junior, di mana anak tersebut dianggap tidak memiliki hak,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, jika sesungguhnya di dalam undang-undang kita juga sudah mengatur bahwa anak adalah entitas yang punya hak untuk dijaga kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang. Begitu juga dijaga dari kekerasan dan diskriminasi. Tumbuh itu fisik, berkembang itu psikologis dan perlindungan dari kekerasan. Baik fisik maupun psikis, psikologis. Hal lainnya yang perlu diperhatikan juga adalah kekerasan ekonomi dan akses sosial dan juga termasuk di dalamnya diskriminasi, untuk mendapatkan pendidikan, untuk mendapatkan hak bermain.
”Semuanya menjadi hal yang penting sebenarnya untuk kita pahami,” ucapnya.
Dalam situasi anak-anak, baik anak dari pelaku dan korban terorisme, semua anak-anak secara tidak langsung mendapatkan kekerasan psikologis yang dialami. Untuk anak-anak dari korban terorisme, diawal semasa kecil tidak memahami apa yang terjadi pada orangtuanya. Baru beranjak dewasa, dia mengalami pergolakan dalam diri sendiri. Akan tetapi, menurutnya, narasumber yang hadir dalam agenda WGWC Talk 6, memiliki support system yang baik.
”Sehingga tidak memiliki pandangan negatif atau kebencian kepada kelompok-kelopok yang melakukan tindak kriminal terorisme,” pungkasnya.