Aksi penyerangan yang terjadi di Mabes Polri akhir Maret lalu menghadirkan renungan yang membawa saya kembali ke masa lalu. Pasalnya tidak hanya iba pada penyerang berusia 25 tahun berinisial ZA yang akhirnya tewas di tangan petugas, tapi saya juga teringat pada perekrutan kelompok radikal Islam yang sempat saya alami.Dari surat wasiat yang ditinggalkan ZA, pelaku diperkirakan mendapatkan pengaruh buruk dari kelompok yang menyalahgunakan nama Islam. Kerapuhan ZA menimbulkan rasa iba karena saya beberapa kali pernah merasakan lelahnya menolak para perekrut yang bersikeras meyakinkan saya untuk bergabung dalam kelompok radikal Islam.
Pertama kali saya hampir direkrut terjadi pada tahun 2006. Pada tahun tersebut, kakak kelas saya sewaktu SMA tiba-tiba menghubungi dan menyampaikan keinginannya untuk mengunjungi saya di rumah. Alasannya adalah meminta bantuan mengisi kuesioner tugas akhir teman kuliahnya. Setelah mengisi kuesioner tersebut dia ingin mengenalkan dengan temannya di sebuah restoran cepat saji. Karena tidak tertarik, saya menolak dengan alasan harus menemani ibu saya pergi. Dia lalu menjelaskan tujuan mengenalkan temannya yang misterius tersebut. Katanya saya akan diajak belajar agama Islam dengan sudut pandang serta tafsir yang lebih progresif.
Saya ingat betul ketika dia memberi contoh tafsir bahwa perintah menurunkan kerudung hingga ke dada dalam surat An Nur ayat 31 sebenarnya sebuah pesan agar pikiran dan hati kita selalu jernih. Saya yang belum paham hermeneutika sebagai landasan analisis teks tercengang dan kagum mendengarnya. Apalagi kakak kelas saya ini adalah mantan kapten tim cheerleader di sekolah kami yang jauh dari citra relijius pada kegiatannya sehari-hari.
Namun tawaran yang sangat mendadak itu tetap saya tolak. Kecuali ditemani oleh supir pribadi, saya tidak mau pergi. Namun tamu saya itu bersikeras untuk naik taksi sebelum temannya yang misterius itu menjemput kami di tempat pertemuan. Sikapnya yang tidak sopan membuat saya kesal. Untungnya ibu paham gerak gerik saya yang tidak nyaman dan segera bertindak sebagai pemilik rumah. Sehingga, dengan alasan menemaninya pergi, ibu berhasil menyelamatkan saya dan secara tidak langsung mengusir tamu tidak diundang tersebut dari rumah.
Kali kedua saya terlibat dalam proses perekrutan kelompok Islam Radikal terjadi pada tahun 2007. Senior di kampus yang jarang nongkrong bareng tiba-tiba mengajak saya bertemu di perpustakaan fakultas kami. Karena takut mengganggu heningnya suasana perpustakaan, saya menawarkan untuk ngobrol di kantin saja. Namun, dia bersikeras sehingga saya mengalah.
Diawali dengan tawaran untuk bekerja paruh waktu, senior saya ini kemudian mengarahkan perbincangan kami ke arah agama. Dia memancing opini saya mengenai kelompok radikal Islam yang sering jadi bahan perbincangan pada masa itu. Karena tidak suka, saya langsung blak-blakan saja.
Saya kemudian menceritakan buku Rosid dan Delia karya Ben Sohib yang sedang saya baca sebagai contoh perlawanan terhadap kehidupan beragama yang berpotensi melahirkan perpecahan dan hanya simbolis saja. Rosid yang terlahir di keluarga keturunan Rasul menolak mencukur rambutnya yang kribo untuk memakai peci putih kecuali ayahnya dapat membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW juga mengenakan peci putih selama hidupnya.
Sikap Rosid yang mengembalikan Islam pada maknanya dan bukan simbol belaka saya sepakati dan sampaikan kepada sang senior yang hanya bisa terdiam mendengarkan penjelasan saya. Opini saya tutup dengan tidak adanya peminatan untuk mendukung kelompok radikal yang gencar pada saat itu. Karena, tidak seperti yang dipahami oleh saya dan karakter Rosid, radikalisasi atas nama Islam sangat jauh dari makna beragama itu sendiri.
Sejak saat itu, senior saya kembali hilang dari peredaran dan tawaran pekerjaan yang dia berikan pun tidak pernah terdengar kabarnya lagi. Usaha perekrutan serupa ternyata tetap berlanjut ketika saya sudah bekerja. Pada tahun 2012, seorang teman sekolah yang sudah lama tidak berkabar tiba-tiba mengajak bertemu. Saya pikir mungkin dia mau menawarkan posisi downline pada bisnis Multi-level Marketing (MLM) yang bisa saja sedang dijalaninya.
Namun saya berusaha berpikir positif dan menawarkan untuk bertemu di kampus tempat saya bekerja. Tapi teman saya lebih memilih untuk berbincang di masjid kampus dan menolak berkunjung ke kantor saya. Kemungkinan menawarkan MLM di masjid sangatlah kecil, sehingga saya curiga dia akan mengajak saya ikut kelompok radikal Islam. Untungnya ibu minta diantar ke rumah adiknya sehingga saya dapat membatalkan janji tersebut. Sekali lagi ibu menyelamatkan saya dari silaturahmi yang nirmanfaat.
Jadikan Zona Nyaman dan Wawasan Sebagai Penyelamatmu
Layaknya kencan pertama, saya selalu mengajak orang baru atau mereka yang muncul tiba-tiba setelah bertahun-tahun lamanya ke tempat yang nyaman dan aman bagi saya. Sehingga, jika hal yang tidak diinginkan terjadi, saya tahu harus mencari pertolongan ke mana.
Dari pengalaman didekati oleh tiga perekrut, mereka selalu berusaha untuk menjauhkan saya dari zona nyaman yang beragam. Sang kakak kelas ingin saya pergi dari rumah dan bertemu temannya yang misterius. Senior saya bersikeras mengajak berbicara di perpustakaan yang jauh dari teman-teman yang sedang berkumpul di kantin fakultas kami. Selain itu, teman SMA saya menolak untuk saya jamu di kantor dan memilih bertemu di masjid kampus.
Maka, dapat saya simpulkan bahwa pemilihan anggota baru komunitas radikal membutuhkan lokasi yang dapat menggoyahkan rasa aman korban. Akan tetapi, untuk menghindari jebakan tersebut, kita tidak bisa hanya memastikan keamanan secara fisik saja. Keteguhan mental dan wawasan juga wajib terjaga. Hal ini dapat dilakukan dengan menambah ilmu sebanyak-banyaknya.
Seperti yang pernah disampaikan Ruby Kholifah dari AMAN Indonesia pada pelatihan internal komunitas Puan Menulis, mereka yang terpapar radikalisasi biasanya tidak memiliki akses informasi yang tepat. Sehingga kita harus melawannya dengan wawasan yang kuat. Dengan proses belajar yang tidak terputus, karakter individu yang tegas dapat terbentuk dan ilmu yang bermanfaat dapat melindungi kita dari perekrutan komunitas yang menyalahgunakan nama Islam. Semoga di kemudian hari, tidak ada lagi generasi muda yang mati sia-sia karena diiming-imingi surga dan melupakan makna hadirnya mereka di dunia.
Penulis : Retno Daru
Sumber : https://mubadalah.id/pengalaman-pribadi-terhindar-kelompok-radikal/