29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Cerita Anak-anak Korban Ekstremisme

WGWC Talk #6 yang dilaksanakan pada Kamis (9 Juli 2020) mengangkat tema ”Saya juga Berhak Bahagia : Curhatan Anak-anak Koban Ekstremisme Kekerasan” dengan menghadirkan 2 orang anak dari korban teror bom dan 2 orang anak dari pelaku ektremisme. Serta 3 orang penanggap yaitu Rita Pranawati yang merupakan Wakil Ketua KPAI, Wendy Wijayanto yang merupakan Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme Deputi Perlindungan Anak KPPPA dan Euis Heni Mulyani sebagai Psikolog BRSAMPK Handayani. Agenda dipandu oleh Nurina Vidya Hutagalung sebagai Program Specialist SFCG yang dihadiri oleh 54 orang.

Agenda kali ini dimulai dengan penuturan anak-anak dari korban teror bom. Keduanya menceritakan pengalamannya yang harus menerima keadaan orangtua yang harus menjadi disabilitas. Nampaknya, keadaan psikologis anak-anak sudah menjadi lebih baik. Serta lingkungan anak-anak ini mendukung agar anak-anak untuk lebih baik. Keduanya pun berpesan,jika pihak pemerintah dan masyarakat luas memberikan rasa aman dan kalau bisa mencegah lebih awal dari pada kejadian terulang kembali. Serta masyarakat itu tidak mudah terpengaruh ajaran-ajaran yang tidak baik yang mengatasnamakan agama.

Untuk anak dari pelaku ekstremisme kekerasan, penangkapan ayah mereka ternyata membuat mereka sedikit trauma. Keduanya pun sempat menarik dari lingkungan sekitar tapi keluarga lainnya tetap mensupport anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Misalkan, salah satu keluarga mereka mendatangi ke sekolah dan meminta agar para murid tidak mengetahui persoalan tersebut. salah satu anak dari pelaku ekstremisme, saat ini bertekad untuk mendalami agama dan juga sering ikut seminar ekstremisme. Hal itu menjadi landasan dia untuk mengetahui kelompok ekstrem atau bukan.

Para penanggap pun, Rita Pranawati menanggapinya kita semua tidak bisa memilih siapa orang tua kita. Catatan ini menjadi landasan agar anak dilindungi harkat martabat kemanusiaannya dalam keadaan apapun orang tuanya. Karena sebenarnya dalam konteks perlindungan anak, sudah ada dalam undang-undang di Indonesia di mana anak merupakan entitas yang punya hak untuk dijaga kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta dijaga dari kekerasan dan diskriminasi.

Sedangkan perwakilan dari Euis Heni perwakilan Psikolog BRSAMPK Handayani dari kacamata psikologi, pengalaman anak korban maupun pengalaman anak pelaku itu tentu terpengaruh kondisi psikologis dan kejiwaannya. Melihat kondisi mental anak-anak ternyata sedikit berbeda. Hal tersebut tergantung pada trauma dan perkembangan anak. Serta 4 orang narasumber ini memiliki support dari keluarga sehingga keluarga itu membuat nyaman. Serta, dapat membantu mereka tidak berlangsung ketakutannya atau traumanya, jadi hanya sebentar seperti itu.

Penanggapi hal tersebut, Wendy Wijayanto yang merupakan Kabid PA Perlindungan Anak Korban Stigma dan Jaringan Terorisme Deputi Perlindungan Anak KPPPA menanggapi jika saat ini misalnya Kementerian PPPA kan sudah berhasil menyusun Peraturan Menteri PPPA No 7 tahun 2019 tentang Pedoman Perlindungan Anak dari Radikalisme dan Tindak Pidana Terorisme. Saat ini kita bisa menjadikan acuan bagi kementerian atau lembaga terkait pemerintah daerah atau lembaga yang dibentuk masyarakat ini dalam memberikan perlindungan anak dari radikalisme dan tindak pidana terorisme. Pedoman ini kan tujuannya penyusunan kemarin jelas untuk melindungi anak korban, anak pelaku dan anak saksi dari paham radikalisme dan tindak pidana terorisme itu sendiri. Pedoman tersebut meliputi langkah-langkah yang diperlukan dalam tindakan pencegahan, edukasi tentang pendidikan dan nilai-nilai ideologi asionalisme, konseling yang tentang bahaya terorisme serta radikalisme itu sendiri. Begitu juga rehabilitasi sosial, rehabilitasi psikososial dan atau rehabilitasi psikologis.

Terakhir, perwakilan dari BNPT Andi Intan berpesan 3 hal. Pertama adalah miliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Kedua, pelajari agama secara komprehensif jangan hanya mempelajari ayat-ayat marah saja, coba kita mempelajari jug ayat-ayat ramah. Ketiga, jangan sampai mendukung atau mendorong orangtua untuk kembali ke lobang yang sama.

Terkahir, sebagai SC WGWC Ruby Kholifah, mengatakan pemerintah sudah mulai banyak melakukan approach ke Densus 88 untuk mempertimbangkan cara-cara penangkapan yang tidak menimbulkan trauma berkepanjangan kepada anak dan juga keluarga. Untuk kejadian yang sudah berlangsung maka peran negara tetap diharapkan hadir untuk membuat kebijakan yang lebih baik. Termasuk dukungan yang clear termasuk infrastruktur, budgeting dan berbagai macam hal agar membuat anak ini kembali akan merasa diperhatikan, kembali akan merasa difasilitasi oleh lingkungan yang sehat. Sehingga mereka sama seperti anak-anak yang lain, mereka berhak untuk bahagia, dengan mereka berhak untuk bahagia.

TERBARU

Konten Terkait