Dalam sebuah Jurnal Penelitian dari UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta menyebutkan, seorang anak napiter mengalami perubahan sejak mengetahui ayah mereka terlibat dalam aksi terorisme, mereka menjadi sensitif dan pendiam. Keadaan anak tersebut, membuat istri mantan napiter sengaja menceritakan mengenai hal-hal yang menimpa anak-anaknya kepada suaminya.
Hal itu, dilakukan untuk memecah fokus pemikiran suaminya agar tidak selalu memikirkan jihad qital karena lembaga pemasyarakatan tidak memberikan jaminan bagi suaminya terlepas dari pemikiran-pemikiran Jihad. Keterlibatan istri sebagai pendamping suami dalam proses deradikalisasi menjadi penting. Yakni, istri berperan sebagai pendamping suami yang paling mengerti karakter suami.
Peran penting tersebut seringkali luput dalam pembahasan mengenai deradikalisasi. Keterlibatan perempuan dalam proses deradikalisasi dan disengangment dapat melengkapi program yang selama ini sudah berjalan. Menurut Dosen Senior Universitas Atma Jaya, Nani Nurrachman Sutoyo, temuan menarik kebanyakan adalah perempuan-perempuan yang tidak mengetahui aktivitas suami, sehingga dalam situasi shock, ketika mendengar suami dipenjara.
”Hal tersebut menjadi penyebab mengubah secara drastis hidup mereka, hidup mereka menjadi berbeda. Ketika dia tahu, dia shock kemudian akhirnya ada juga yang maaf, sampai ingin bunuh diri dan sampai ingin membunuh anaknya. Karena dia sangat depresi dan sangat terpukul sehingga ada terlintas untuk mengakhiri hidupnya dan anak-anaknya,” katanya.
Hasil dari pendampingan, upcoming academic paper, policy paper untuk masukan kepada pemerintah untuk membuat kebijakan-kebijakan program disengagemen dan program deradikalisasi. Dia menjelaskan, untuk seseorang menjadi radikal, ada tiga tahap. Tahap pertama perasaan kepekaan, tahap kedua dia sudah menjadi member dan ketiga dia sudah melakukan aksi.
Dari cerita para istri napiter di dalam WGWC Talk 5, maka tergolong di tahap kedua atau baru menjadi anggota. Ada pola bisa coba kembangkan di masyarakat bahwa ternyata ada tiga kelompok yang sangat berperan penting untuk melakukan deradikalisasi. Mikro, meso, makro. Yang sekarang kita diskusikan dengan kedua narasumber adalah ada di kelompok meso. Di kelompok ini kita lebih ada menggunakan atau istilahnya dengan mensupport suami dengan istri dan keluarganya.
”Saya berharap kedepannya, setelah program ini jika ada organisasi atau pemerintah yang akan melakukan program lainnya dapat menggabungkan tiga kelompok ini. Misal ke individualnya, seperti sang suami merasa menyesal dapat cerita dari sang istri yang mengalami kondisi sulit dan menderita kemudian berjanji tidak akan kembali lagi,” ungkapnya.
Kemudian dari kelompok kedua yaitu meso, dari keluarga sendiri dari lingkungan dan dari kelompok luar ini bisa mensupport orang yg teradikalisasi ini agar bisa kembali ke pemahaman yang benar. Pada makro, diharapkan dapat dari pemerintah bekerja bersama-sama agara tidak ada kasus istri yang seperti ini lagi.
“Kesimpulanya, dari program family resilient dan kerja social support yang mereka dapatkan diharapkan bisa menjadi pemutus mata rantai atau yang kita harapkan saat ini adalah kita dapat melakukan disengagement terhadap suami yang teradikalisasi,” pungkasnya.