Keterlibatan istri sebagai pendamping suami dalam proses deradikalisasi menjadi penting. Yakni, istri berperan sebagai pendamping suami yang paling mengerti karakter suami. Peran penting tersebut seringkali luput dalam pembahasan mengenai deradikalisasi. Keterlibatan perempuan dalam proses deradikalisasi dan disengangment dapat melengkapi program yang selama ini sudah berjalan.
Menurut Dosen Senior Universitas Atmajay Nani Nurrachman Sutoyo, terjadinya penangkapan suami, para istri mulai bertanya bagaimana bisa masuk perangkap dalam situasi, lalu apa yang harus para perempuan lakukan. ”Pertanyaan itu, menjadi pemicu para istri untuk menelusuri, menggeluti, di dalam hal ini gambaran dirinya sendiri sebagai pribadi,” terangnya.
Terdapat gejolak pergolakan batin yang dialami para istri napiter yang mana menjadi pergolakan untuk menjadi perempuan mandiri. Mempertanyakan, bukan hanya kenapa suami bisa tertangkap namun juga kesadaran. Di dalam suatu perkawinan, bagaimana pun juga harus ada sharing membagi bersama meskipun di dalam hal ini tidak harus semuanya terbuka.
Kemudian, lanjut dia, kalau kita bicara penangkapan suami menjadi pemicu istri untuk menjadi perempuan mandiri. Maka dalam hal ini dirinya melihat bahwa sebetulnya para istri napiter ini mempunyai satu potensi untuk bangkit kembali karena pada hakikatnya setiap manusia itu memiliki daya resiliensi—kemampuan untuk bangkit kembali. Berkaitan sebagai istri, sebagai ibu, sebagai perempuan, maka pikirannya tidak bisa lepas dari anak-anak yang sudah dilahirkan.
”Sebab masa depan ibu adalah milik anak-anak. sebagai ibu ada rasa tanggung jawab, ada rasa peduli bahwa kehidupan kehidupan anak-anak itu walau bagaimana pun juga perlu dilanjutkan dan perlu dikembangkan,” pungkasnya.