Narasumber dalam WGWC Talk 5 telah menceritakan pengalamannya ketika suami tertangkap teroris. Perasaan untuk bangkit dan mencegah suami untuk masuk kembali ke dalam agenda terorisme menjadi cerita yang sangat menarik. Salah satu Dosen Senior Universitas Atmajaya, Nani Nurrachman Sutoyo, ada banyak pelajaran yang diambil dari para perempuan.
”Cerita tiap narsum ini unik. Para narasumber ini setelah ditinggalkan oleh suaminya, berusaha untuk mecukupi kebutuhannya. Ada 3 kebutuhan yang dicukupi oleh para perempuan. kebutuhan dasar, yaitu terpenuhinya sandang, pangan, papan dan tentu saja di dalam hal ini, keinginan untuk menikah dan membangun keluarga. Jadi hal-hal yang sifatnya fisik,” terangnya.
Diungkap olehnya, kebutuhan pertama ditutupi, kebutuhan itu meningkat lagi menjadi kebutuhan untuk mencari rasa aman yaitu punya tempat berlindung. Adanya rasa aman karena adanya pemasukan untuk kelangsungan kehidupan yang terus menerus, dalam hal ini sumber penghidupan.
Setelah kebutuhan yang kedua terpenenuhi, lanjutnya, akan meningkat ke kebutuhan lebih tinggi lainnya, yaitu adanya perasaan sense of belonging, menjadi bagian dari keluarga yang lebih besar, dari komunitas , dari kelompok-kelompok tertentu. Dalam hal ini, kebutuhan itu meningkat menjadi kebutuan untuk memiliki harga diri.
”Bahwa berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar yang sifatnya fisik, konkrit; kemudian rasa aman; kemudian adanya perasaan menjadi bagian dari komunitas; maka dari itu, interaksi yang terjadi dalam komunitas itu terpenuhilah di dalam hal ini, rasa pengakuan dan rasa harga diri yang diperoleh dari perasaan menjadi bagian dari komunitas itu. Kebutuhan paling akhir yaitu kebutuhan aktualisasi diri,” terangnya.
Sehingga, kerangka berpikir tentang kebutuhan manusia ini, berlaku untuk setiap manusia dimanapun. Tetapi dalam konteks kehidupan para istri napiter ini, hierarki kebutuhan itu tiba-tiba, mengalami keruntuhan dengan ditangkapnya suami dan ditahannya suami sebagai napiter. Artinya, upaya untuk membangun kembali kebutuhan-kebutuhan tersebut agar dapat dipenuhi selayaknya manusia itu ingin hidup.
Dalam hal ini, pengakapan suami yang menyebabkannya ditahan merupakan faktor pemicu bagi kesadaran diri para istri napiter ini untuk bertanya pada diri sendiri bagaimana dan mengapa dirinya bisa sampai pada situasi yang demikian?
”Nah, di dalam hal ini, hal itu dihadapkan pada suatu kenyataan bahwa kecenderungan untuk menikah karena dijodohkan itu merupakan salah satu situasi yang membentuk suatu pandangan bahwa orang itu menikah, membangun keluarga, punya anak, itu memang merupakan suatu perjalanan hidup, tanpa dipertanyakan lagi–taken for granted,” katanya.
Padahal suatu perkawinan itu, lanjut dia, baru merupakan langkah awal dari upaya membangun kebersamaan sebagai keluarga antar dua pribadi. Meskipun, sudah mengenal tetapi dalam perkawinan itu baru mengenal kehidupan masing-masing pribadi secara lebih dalam. Artinya ketika berpacaran apakah sdah cukup mengenal, apakah pernah memikirkan ketika kita sudah saling tertarik, apakah kita pernah membicarakan tentang kehidupan keluarga yang diiginkan.
”Apakah ada suatu pandangan tentang itu sebelumnya dan bagaimana pula kehidupan dalam hal ini lifestyle yang sebelum menikah dan ketika memasuki perkawinan itu mengalami perubahan, karena komunikasi dan interaksi dengan suami sebelum dan sesudah menikah itu jelas mengalami perubahan,” pungkasnya.