Solo Bersimfoni, salah satu organisasi yang mengangkat nilai budaya jawa untuk kaum milenial, aktif sekali memproduksi konten medsos bertajuk Hasthalaku, Nilai- nilai tersebut adalah guyub rukun , gotong royong, tepa selira, , ewuh pekewuh, pangerten, grapyak semanak, lembah manah, andhap asor.
Guyub rukun secara bahasa berasal dari kata berguyub yang bermakna berkumpul, berkelompok, yang dapat bermakna pula sebagai rukun. Guyub sendiri dapat bermakna kebersamaan sedangkan rukun bermakna keselarasan, kehidupan tanpa adanya perselisihan, pertikaian dan konflik. Apabila digabungkan maka istilah guyub rukun merupakan sebuah kondisi situasi yang damai, selarah tanpa adanya pertikaian yang dijaga secara bersama-sama. Konsep guyub rukun dalam jawa yang dipaparkan oleh Suseno merujuk pada kata rukun yang berarti keselarasan, keadaan yang damai, suka bekerja sama, saling membantu, saling menerima dalam suasana tenang dan sepakat.
Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan daam kehidupan sosial. Masyarakat jawa memandang, permasalahan tidak terletak pada penciptaan keadaan keselarasan sosial melainkan lebih kepada tidak menganggu keselarasan yang sudah ada. Budaya jawa mengenal pepatah rukun agawe santosa crah agawe bubrah yang bermakna bahwa kerukunan akan menciptakan kedamaian, keharmonisan dan kesejahteraan, sedangkan pertikaian akan menciptakan perpecahan dan disharmoni antar sesama.
Guyub rukun digambarkan sebagai situasi ideal dimana masyarakat hidup dalam keharmonisan, bukan karena semua sama tetapi mampu menyelaraskan keberagaman ke dalam satu stuasi yang diperjuangkan bersama. Guyub rukun hanya dapat dicapai jika keseluruhan komunitas masyarakat menjaga kestabilan dan keharmonisan.
Gotong royong berasal dari bahasa jawa dari kata gotong yang artinya memikul atau mengangkat dan royong yang artinya bersama-sama. Menurut KBBI, gotong royong adalah bekerja bersama-sama secara tolong menolong, bantu membantu, dalam Bahasa Inggris gotong royong disebut sebagai mutual assistance. Gotong royong merupakan istilah asli Indonesia yang menjadi landasan smangat membangun bangsa. Presiden Sukarno menyampaikan makna Gotong Royong sebagai pembanting tulang bersama,pemerasan keringat bersama, dan perjuangan bantu-membantu bersama.
Karena pentingnya gotong royong, pemerintah RI pernah mengadopsinya kedalam nama kabinet pemerintahan era ordelama. Gotong royong sesuai dengan definisi Aristoteles tentang manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lain. Koentjaraningrat membagi gotong royong menjadi dua jenis, gotong royong tolong menolong dan gotong royong kerja bakti. Gotong royong tolong menolong terjadi pada aktivitas pertanian, rumah tangga, hajatan atau pesta, perayaan serta peristiwa bencana. Gotong royong kerja bakti biasanya dilakukan untuk mengerjakan sesuatu yang untuk kepentingan umum seperti bersih desa. Gotong royong mustahil dilakukan jika dalam diri masyarakat tidak ada rasa empati atau saling mengasihi. Gotong royong perlu tetap dipupuk dan dipelihara sebagai nilai kekayaan bangsa meskipun zaman berkembang secara cepat.
Tepa selira merupakan sebuah konsep masyarakat jawa dalam bersikap dimana tindakan yang dilakukan oleh seseorang akan diterima atau dirasakan oleh orang lain. Tepa selira sendiri berarti bercermin diri, misal kita tahu bila ditampar itu sakit maka janganlah menampar orang lain. Konsep tepa selira memiliki padanan dengan konsep tenggang rasa. Sikap tenggang rasa adalah suatu sikap hidup dalam ucapan, perbuatan, tingkah laku yang mencerminkan sikapmenghargai dan menghormati orang lain. Setiap orang harus mampu bergaul dengan siapa saja, dimana saja, dan kapan saja. Melalui sikap tenggang rasa, kita dapat merasakan atau menjaga perasaan orang lain.
Ewuh pekewuh terkait dengan perilaku kesopanan seseorang.Indikator kesopanan orang jawa adalah tidak melakukan penolakan pada perintah atau permintaan seseorang. Ewuh pekewuh dapat muncul akibat individu sudah mengenalatau banyak menerima suatu kebaikan dari orang lain sehingga bagi individu itu akan sulit untuk menolak atau mengabaikan permintaan orang tersebut. Ewuh pekewuh biasanya cenderung dihadapi orang yang lebih muda terhadap orang yang lebih tua.
Soeharjono (2011) mendefenisikan ewuh pekewuh sebagai sikap sungkan atau rasa segan serta menjunjung tinggi rasa hormat. Menurut Tobing (2010), ewuh pekewuh yang merupakan nilai dalam masyarakat Jawa terdiri dari beberapa prinsip yang sangat erat hubunganya dengan aspek-aspek dalam ewuh pekewuh, yaitu prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Saling menghargai di dalam kehidupan bermasyarakat akan membawa kerukunan,ketenangan, perdamaian di dalamnya sehingga membawa persatuan bangsa.
Di dalam budaya Jawa, pangerten adalah kunci utama dari kehidupan bermasyarakat. Pangerten yang dalam bahasa Indonesia berarti pengertian atau peka akan kondisi sesama merupakan halyang tidak bisa dipisahkan dari diri kita sebagai manusia. Manusia diciptakan oleh tuhan dengan berbagai perbedaan. Sebagai masyarakat yang majemuk, masing-masing anggota masyarakat dituntut untuk dapat hidup dengan orang lain yang memiliki perbedaan tersebut. Perbedaan yang ada dalam masyarakat mestinya dipandang sebagai rahmat Tuhan. Sikap pangerten digunakan untuk memahami perbedaan tanpa perselisihan.
Penulis : Yuliyanti Dewi Untari, S.Pd
Sahabat Simfoni dan Guru Bahasa Jawa SMAN 1 Surakarta
Pernah dimuat di Harian Solopos
Sumber : https://solobersimfoni.org/?p=2719