Indonesia memiliki budaya yang beragam. Tiap propinsi memiliki budaya masing-masing. Jawa tengah yang terdiri dari 35 kabupaten/kota tentu memiliki 35 kekhasan daerah masing-masing. Kekayaan budaya yang kita miliki tak perlu diragukan lagi. Bila ingin mengadakan dialog pengembangan perbedaan dan keragaman budaya kita tidak akan kekurangan bahan obrolan saat mengulik budaya di sekitar kita. Untuk bisa berdialog tentang keragaman tentunya kita harus memahami budaya kita sendiri, budaya dimana kita berpijak atau budaya dimana kita terlahir. Pemahaman tentang kebudayaan sendiri sayangnya hanya terhenti pada seremonial, nilai budaya yang lebih banyak tersembunyi pada lambang-lambang benda yang digunakan saat upacara adat masih tersimpan belum banyak diketahui.

Penjagaan budaya saat ini dilakukan dengan berbagai cara. Namun cara yang ditempuh sepertinya belum menyentuh generasi muda untuk mencintai budaya sendiri. Hal ini tampak dari minimnya kunjungan ke museum sebagai salah satu sumber belajar budaya. Narasi yang dicetuskan anak-anak milenial masih sedikit yang mengulik secara mendalam tentang kebudayaan sendiri. Di tempat saya mengajar ekstrakurikuler budaya jepang lebih diminati dari pada ekstra kurikuler karawitan atau tari tradisional jawa.

Mana Budaya Kita (Part 1)

Sebuah ironi karena kita berada di jantung pusat kebudayaan jawa, dan mereka memilih mengikuti ekstrakurikuler budaya negara lain. Kita tidak begitu saja menyalahkan mereka, mereka berbuat seperti itu karena sungguh mereka tidak tahu betapa menariknya kebudayaan kita. Media berpengaruh besar kepada ketertarikan seseorang. Saat ini media lebih memilih menampilkan drama dari belahan dunia lain dibanding mengangkat cerita asli dari kebudayaan sendiri. Pada pelajaran yang mereka dapat di sekolah mereka hanya mendapatkan cerita monoton yang diulang sejak SD hingga ia besar. Tentunya kaum milienial itu akan bosan, mereka juga tidak memiliki referensi lain tentang cerita asli Indonesia.

Perlu berbagai pendekatan agar milenial ini kembali mencintai budaya sendiri, mereka bukan tidak cinta hanya tidak tahu. Semacam tak kenal maka tak sayang, seperti itulah generasi muda pada budayanya. Bagaimana mereka akan sayang, kenalpun mereka tidak. Mereka butuh pengenalan dengan cara mereka, cara yang mereka suka bukan cara kita generasi pendahulu, yang kadang langsung menilai bahwa anak-anak muda sekarang tak tahu adat. Kita lupa bila yang menyebabkan mereka tak tahu adat adalah generasi sebelumnya yang tidak mentranfer pengetahuan tentang kebudayaan kepada generasi muda.

Kebudayaan kita termasuk budaya yang maju, kebudayan kita memiliki aksara sebagai wujud dari kemajuan literasi mereka pada zaman dahulu. Puisi tertua pun ditemukan di negri kita. Betapa ini bukti bahwa nenek moyang kita sungguh luar biasa. Bila kita perhatikan candi Borobudur kita akan merenung tentang kehebatan nenek moyang kita, pada abad ke 8 sudah bisa membuat bangunan begitu megah. Candi Prambanan yang dibangun pada abad ke 9 juga sangat indah dan megah, sayangnya generasi muda pada awal pengenalan mereka pada candi prambanan adalah cerita tentang kesaktian Bandung Bandawasa yang sanggup membuat candi dalam waktu semalam. Cerita hebat ini nyatanya membagi mereka menjadi dua kubu, kubu yang terkagum-kagum dan sangat mempercayai cerita itu lalu beranggapan betapa saktinya orang dahulu dan kita yang sekarang tidak mungkin bisa seperti mereka.

Kubu yang satu adalah kubu yang tidak bisa percaya cerita semacam itu, lalu menganggap cerita itu adalah hayalan, lebih parahnya ada yang menganggap bila kebudayaan kita lebih dekat dengan hal yang tak masuk diakal maka tinggalkan saja. Sangat sedikit yang berpikir mengapa dulu nenek moyang kita begitu hebat bisa membuat bangunan megah, tehnologi apa yang mereka gunakan, bagaimana cara berpikirnya hingga bisa tercipta kemegahan itu. Pemikiran generasi muda itu timbul dari umpan yang kita berikan.

Dua pertiga naskah jawa kuno masih ada di Belanda menjadikan kita berpikir bila sebenarnya kebudayaan kita sangat menarik. Kolonial pada waktu itu berusaha menjauhkan kita pada budaya sendiri agar kita tak punya jati diri sehingga mudah untuk dipengaruhi. Silahkan baca cerita-cerita pada zaman dahulu tentang penggambaran orang desa. Orang desa digambarkan sebagai orang yang malas, bodoh. Pengambaran ini melekat sehingga kita mengasosiakan orang desa seperti gambaran para penulis itu. Cara ini efektif mengirim anak-anak muda pergi ke kota enggan membangun desa, meninggalkan kebudayaanya. Kondisi ini yang sedang terjadi pada generasi muda. Apabila kita terus membiarkan hal ini berlanjut tidak ada upaya mendekatkan kebudayaan sendiri pada generasi muda, kasihan mereka akan kehilangan jati diri.

Pelestarian kebudayaan daerah mestinya secara menyeluruh tidak hanya tampak luarnya saja. Pertunjukan-pertunjukan kebudayaan daerah digelar secara spektakuler namun nilai- nilai kebudayaan yang melatari kesenian daerah itu muncul tidak dikelola dengan baik. Generasi yang terbiasa melihat permukaan suatu masalah pada akhirnya hanya akan melanjutkan pertunjukan sebagi rutinitas tanpa makna. Tentulah berbeda bila ada pemahaman mendalam terhadap pagelaran maka generasi penerus akan mencintai budaya dengan hati, pikir dan inderanya.

Media digital dan social media yang saat ini sangat digemari anak muda mestinya dimanfaatkan untuk mengenalkan generasi muda kepada budayanya. Setelah Konggres Aksara Jawa di Yogyakarta maret kemarin, pengenalan aksara jawa untuk pengetikan di HP mulai dilakukan. Ini salah satu upaya untuk mengenlkan aksara jawa pada generasi pemegang gawai. Adanya organisasi masyarakat yang intens memproduksi konten bersumber dari budaya jawa juga sebagai upaya untuk mengenalkan kebudayaan jawa kepada generasi muda.

Solo Bersimfoni, salah satu organisasi yang mengangkat nilai budaya jawa untuk kaum milenial, aktif sekali memproduksi konten medsos bertajuk Hasthalaku, Nilai- nilai tersebut adalah guyub rukun , gotong royong, tepa selira, , ewuh pekewuh, pangerten, grapyak semanak, lembah manah, andhap asor.

Penulis : Yuliyanti Dewi Untari, S.Pd
Sahabat Simfoni dan Guru Bahasa Jawa SMAN 1 Surakarta

Pernah dimuat di Harian Solopos
Sumber : https://solobersimfoni.org/?p=2719

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top