Pernahkah anda merasa ingin melarikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan kota besar dan pergi ke tempat yang lebih tenang dan damai? Tempat kehidupan masyarakat yang rukun dan masih didominasi oleh nilai-nilai lama, budaya luhur, toleransi serta sikap menjaga keberasamaan. Anda bisa menemukannya dalam lingkungan Sekolah Adipangastuti-sekolah toleransi berbasis budaya-, sebuah hunian ramah untuk proses pembelajaran bagi warganya. Warga sekolah Adipangastuti akan membuat anda berpikir, orang-orang seperti inilah yang anda inginkan sebagai tetangga di lingkungan tersebut.
Sekolah Adipangastuti adalah sebuah model sekolah yang bertujuan untuk meningkatkan toleransi pada kalangan remaja khususnya pelajar. Model sekolah ini menerapkan budaya lokal dalam sistem sekolah dengan melakukan internalisasi nilai-nilai yang disebut hasthalaku ke dalam kegiatan pembelajaran siswa secara tidak mengikat, fleksibel dan luwes. Target dari sekolah ini menjadikan peserta didik lebih toleran dan mempunyai identitas budaya hasthalaku.
Bila pendidikan disebut sebagai usaha untuk menghasilkan peserta didik yang cerdas dan berperilaku berbudi, maka seluruh rangkaian proses pembelajaran adalah hasil dari pengetahuan (knowledge) dan pengalaman (experience). Cerdas dapat ditempuh melalui pembelajaran teoritis di ruang kelas, sementara moral atau perilaku berkaitan dengan nilai (value) yang lebih dipertimbangkan sebagai emotive berdasarkan pada ekspresi dan rasa. Model sekolah Adipangastuti lebih cenderung hadir sebagai pembelajaran moral atau perilaku yang mengandalkan pengalaman langsung dalam penerapan nilai-nilai.
Program-program dalam model Sekolah Adipangastuti nyaris semuanya disusun berdasarkan kesepakatan guru, siswa dan tim pendamping program yang disesuaikan agar sejalan dengan program sekolah. Sehingga kegiatan-kegiatan yang lahir adalah hasil keinginan bersama yang memungkinkan terjadinya penjelajahan atau eksplorasi kegiatan dengan asyik dan leluasa. Kegiatan model sekolah adipangastuti berbasis pada pengembangan literasi, branding dan digitalisasi.
Literasi digital mengarah pada pencarian berita dan konfirmasi dengan prinsip anti hoaks (berita bohong) dan ujaran kebencian. Pelatihan penggunaan beragam platform teknologi digital sebagai penunjang pembelajaran. Menarasikan Hasthalaku dalam bentuk tulisan (seperti; artikel populer, cerita fiksi, blog, naskah pementasan teater, sampai penerbitan buku), dalam bentuk gambar (seperti; poster, postingan media sosial, dan banner), dalam bentuk video (seperti; ilustrasi, pentas teater, film pendek, dan podcast), serta dalam bentuk media kreatif lainnya.
Selain itu, kegiatan yang berkaitan dengan sosial media pun tak kalah mendapat perhatian. Mengingat, penggunaan sosial media sekarang ini sudah menjadi suatu kebutuhan, maka online behavior sangat diperlukan. Bagaimana cara menyampaikan narasi di media sosial, bagaimana agar guru maupun siswa bisa membuat konten yang berfokus pada pendidikan karakter, juga bagaimana mengukur seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan dari unggahan di media sosial melalui komentar (comment), penyebaran (share), dan reaksi (like).
Program didesain dekat dan relevan dengan kehidupan siswa. Juga sebagai follow up dari pemberdayaan potensi seperti organisasi/ekstrakulikuler siswa. Berhadapan atas dunia di sekitarnya, menyebabkan siswa berupaya lebih lanjut mengeksplorasi lewat tindakan atau bahasa narasi. Sebuah model yang sederhana dan langsung.
Indikator adanya kegiatan belajar adalah adanya perubahan tingkah laku, perubahan pola pikir, dan perubahan sikap. Sejalan dengan hal tersebut, model sekolah Adipangastuti berfokus pada capaian hasil perubahan daripada knowledge (kondisi sadar akan nilai-nilai hasthalaku), skill (kemampuan warga sekolah menggunakan beragam media/platform dalam menyebarkan konten tematik hasthalaku pada Kegiatan Belajar Mengajar (KBM)), attitudes (menyikapi perasaan atau emosi terhadap seseorang atau sesuatu dari perspektif/sudut pandang nilai hasthalaku), habits (pengamalan nilai hasthalaku dalam perilaku yang berulang dan konsisten).
Thomas Lickona dalam buku Mendidik untuk Membentuk karakter (2016) mengatakan, “Guru yang baik bukan hanya menentukan standar yang tinggi; mereka pun membantu siswanya membuat standar tersebut menjadi milik mereka.” Dengan menjadikan nilai-nilai hasthalaku yang kaya akan muatan toleransi sebagai standar perilaku bersama, maka akan tercipta kondisi KBM menjadi kondusif. Hal ini dikarenakan semua warga sekolah menjaga budaya toleransi dan memelihara nilai-nilai budaya lokal. Sehingga mampu menghindari atau meminimalisir resiko dampak perubahan sosial atau perilaku menyimpang yang bertentangan dengan aturan hukum, nilai religi dan norma sosial di lingkungan sekolah.
Sebagai penutup, saya menukil perkataan Theodore Roosevelt untuk menunjukkan betapa pentingnya pendidikan moral perilaku terutama toleransi dalam menjaga kebersamaan, “Mendidik seseorang hanya untuk berpikir dengan akal tanpa disertai pendidikan moral berarti membangun suatu ancaman dalam kehidupan bermasyarakat.”
Penulis : Gilar Prasetio
Sahabat Simfoni dan Pendamping Sekolah Adipangastuti
Sumber : https://solobersimfoni.org/?p=2715