29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Pendamping juga Manusia: Cerita Dibalik Reintegrasi dan Rehabilitasi

Indonesia telah mengalami arus balik simpatisan ISIS ke Indonesia sebanyak 3 kali. Di antaranya, pada periode 1985-1992 ada sebanyak 19 kader Darul Islam yang berlatih militer di Pakistan-Afghanistan. Periode selanjutnya pada 1995-1999, ada sebanyak 144 kader Jama’ah Islamiah yang ambil bagian dalam pelatihan di kamp Hudaibiyah di Mindanao, Filipina Selatan. Periode terakhir, pada 2017 sebanyak 75 WNI yang berangkat ke Suriah.

Dari data tersebut, mau tidak mau Indonesia harus melakukan rehabalitasi bagi mereka. Dalam hal rehabilitas, Kementerian Sosial berpartisipasi dalam program rehabilitasi sosial yang dirancang oleh BNPT sesuai dengan program deradikalisasi yang digunakan di penjara untuk para narapidana teroris. Namun, dampak terbesar tampaknya bukan melalui kegiatan formal, tetapi dari empati yang ditunjukkan oleh para pekerja sosial Handayani.

Sebagian besar dari para pekerja itu telah terbiasa berurusan dengan anak-anak sehingga mereka sangat sabar. Mereka juga tinggal di pusat penampungan sehingga mereka pada dasarnya siap sedia 24 jam, dengan setiap pekerja sosial memiliki tanggung jawab untuk satu atau dua orang yang dideportasi dan mengenal mereka dengan baik bahkan dalam periode yang relatif singkat. Bagaimana yang dilakukan oleh para pendamping?

Pekerja Sosial BRSAMPK Handayani, Kementerian Sosial, Sri Wahyuni, menceritakan pengalamannya melakukan pendampingan kepada anak-anak tersebut. ”Pendekatan awal dengan perkenalan, setelah terjalin kedekatan maka mulai melakukan assesment awal, di sini banyak muncul sinisme dan kecurigaan, apalagi mewakili pekerjaan dari pemerintah yang dianggap thagut,” terangnya.

Sabar dan Humanis Menjadi Kunci Utama

Namun, pihaknya merasa harus tetap humanis. Berdasarkan pengalamannya, para pendamping sering juga disebut kafir baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal tersebut semakin parah kepada para pendamping yang non-islam. Anak-anak yang dia hadapi, lanjutnya, saat pertama kali dijumpai sulit menjawab salam.

”Namun, kami harus tetap sabar. Sebagai besar anak-anak akan berubah, sering dengan waktu. Kuncinya, kami para pendamping harus sabar. Kemudian untuk kasus anak-anak terpapar dari Surabaya rentang usia antara 6-16 tahun. Ketika awal datang, mereka tidak mau membaca Pancasila,” terangnya.

Memposisikan Sebagai Orangtua

Diakui olehnya, memang sulit melakukan pendekatan kepada anak-anak. Agar anak-anak ini mau berubah, pihaknya selalu memosisikan sebagai kakak dan orang tua. ”Pada awal kami tidak akan menanyakan terkait hal-hal penyebab mereka mejadi korban, namun biasanya menanyakan apa yang mereka inginkan selama di sini, baru melakukan assessment,” ungkapnya.

Hal tersebut dilakukan untuk mengenali kebutuhan dampingan agar anak-anak yang didampingi nyaman selama menjalani proses rehab. Sedangkan untuk yang dewasa, pihaknya seringkali kesulitan. Karena orang dewasa cenderung tidak mengakui tujuan awal mengapa bergabung ke kelompok tertentu.

”Sebagai tim pekerja sosial (PS) di Handayani kami melihat mereka terkadang ada yang terpaksa dan terkadang ada yang dari keinginan sendiri. Kepada yang terpaksa butuh waktu dan pendampingan intensif,” pungkasnya.

TERBARU

Konten Terkait