“Jika kamu ingin menguasai suatu kaum, maka kuasailah bahasanya”. Peribahasa ini usang dan tidak berlaku. Entah ini peribahasa ataupun bukan, tapi memang ungkapan ini tidak sepenuhnya benar. Bahasa bukan satu-satunya cara agar seseorang berkuasa. Ada banyak faktor lain, seperti kenyamanan dan kepercayaan masyarakat, kesehatan jiwa Anda dan tentu saja, Anda harus hidup.
Di samping itu, Anda juga perlu mengerti budaya setempat. Bukan hanya mengerti, tapi juga memahami. Kita bisa mengambil pelajaran dari sebuah kejadian beberapa tahun lalu. Banyak media membicarakan aksi beberapa mahasiswa yang niatnya hendak menjadi bagian dari agent of change, maksud hati membawa berkah, alih-alih mendatangkan musibah. Kata kunci yang bisa Anda tuliskan di pencarian internet adalah KKN Desa Penari.
Maksud saya, seseorang perlu manut pada budaya setempat terlebih dahulu, agar bisa mengendalikan masyarakatnya, minimal mendapatkan penerimaan di masyarakat. Lha, budaya ini dapat diketahui dengan kita terjun langsung ke lapangan dan membaur dengan masyarakat, tidak cukup hanya dengan seminar, apalagi webinar.
Tempat belajar budaya lainnya adalah perjalanan, karena di sanalah seseorang menemukan banyak pengalaman. Ada benarnya pernyataan Dedy Corbuzier yang mengatakan bahwa sekolah adalah tempat pembodohan, karena banyak anak yang di sekolahnya hanya numpang bermain, selebihnya ia memperoleh pendidikan dari lingkungan hidupnya yang lain.
Ada baiknya kita simak pengalaman nyata berikut.
Suatu hari, setelah menyelesaikan sebuah urusan di Grobogan, saya berkesempatan kembali pulang ke Pemalang tempat saya tinggal. Seorang teman mengusulkan agar saya ke terminal Penggaron dulu, lalu dari sana naik bus Trans Semarang ke stasiun Mangkang dengan alasan keterjangkauan ongkos. Setelah itu, baru dari Mangkang melanjutkan perjalanan dengan bus lain ke arah barat.
Singkat cerita sampailah saya dengan selamat di Penggaron. Sengaja disingkat, karena kalau dijelaskan dengan runtut dan detail ditakutkan malahan jadi novel. Saya yang belum baca Undang-Undang Omni Bus Law langsung saja menghampiri bus Trans Semarang yang waktu itu berhenti di pertigaan pintu keluar dan memang sedang lampu merah. Jiwa muda saya merasa layaknya mahasiswa Bang jago yang turun demo di masa pandemi.
Saya menggedor pintu bus di sebelah kiri dan tidak segera dibuka, lalu saya merasa salah posisi sehingga perlu berpindah ke pintu bagian kanan. Sempat saya beri kode pada pak sopir, namun dia bersama bus birunya itu pergi begitu saja. Hampir setiap orang yang menyaksikan aksi saya merasa prihatin. Seorang ibu penjaga warung berteriak memberi saran: “Naiknya di dalam terminal sana, atau halte di barat sana, Mas”.
Ucapan ibu itu cukup menggembirakan saya. Setidaknya saya tidak dianggap sebagai orang gila. Namun yang saya khawatirkan nanti akan beredar berita rekaman CCTV dengan caption “Sebuah Bus Trans Semarang Gagal dijarah Orang Gila”.
Saya pergi menyeberangi jalan dengan penuh kemerdekaan. Menerima saran ibu penjaga warung untuk berjalan menuju halte yang ditunjukkan. Sampai di halte saya ditemani oleh seorang perempuan yang bertugas menagih biaya naik bus Trans Semarang. Sekali naik menghabiskan uang senilai Rp 3.500 sampai kemana saja sesuai halte tujuan.
Bus datang menghampiri dan pintu terbuka secara otomatis. Saya masuk dan sempat oleng begitu bus jalan. Sebagaimana di sekolah dulu, saya langsung memilih tempat duduk paling belakang. Belum sampai saya menyentuh kursi, sang kondektur marah dan menyuruhku duduk di bangku depan. Ternyata saya tidak melihat adanya tulisan pembagian tempat antara penumpang laki-laki dan perempuan.
Tidak lama kemudian, sekitar lima menit perjalanan, bus kembali berhenti. Kali ini bus dimasuki banyak orang, mungkin sekumpulan pekerja bangunan yang hendak berangkat kerja. Saya teringat nasehat seorang mantan pencopet “di mana ada kesempitan, di situ ada kesempatan”. Saya pun memegang erat tas saya yang berisi pakaian dan barang-barang berharga di pangkuan sambil pura-pura tertidur.
Lagi-lagi kondektur bersikap mengesalkan. Ia mencolek lututku berkali-kali. Saya merasa risih. Berita mulai maraknya organisasi pembela kaum LGBT di Indonesia terbayang dalam benak. Saya waspada dan memindah posisi tas demi menghindari tangan jahil si kondektur. Mengetahui bahwa saya tidak benar-benar tidur, ia bertanya,
“Mas masih punya kaki?” selidiknya.
Pertanyaan konyol. Saya mendongkol. “Yaa masih lah” saya menjawab dengan berusaha bersikap sewajarnya.
“Masih sehat kan?” tanyanya lagi.
“Silakan yang muda menghormati yang tua” lanjutnya sangat sopan dengan menunjukan tempelan di kaca bus.
Saya yang baru mengerti bahwa bus Trans Semarang ini termasuk penyedia jasa bus berakhlak. Saya pun langsung berdiri, meski dengan terpaksa. Wajah bapak-bapak yang lain memperhatikan dan terlihat cukup mengapresiasi tindakan saya.
Dari kisah perjalanan ini kita dapat melihat tindakan orang yang merasa paling benar dengan segala tindakan yang dilakukannya. Ia sulit menerima nasehat dari orang lain karena belum mengerti bahwa demikianlah aturannya. Andai ia mau menerima, mengerti dan bahkan memahami adat dan budaya yang berlaku, maka orang lain pun akan menganggap dan menerimanya.
Tindakan intoleransi, bahkan kemunculan konflik tidak sedikit yang terpantik dari kesalahpahaman semacam ini. Mereka yang bersikeras dengan kebenaran yang diyakininya serta tidak mau menerima kebenaran dari yang lain, cenderung menutup diri dan membenci orang lain yang tak mendukungnya, sehingga orang-orang pun enggan menerimanya, apalagi menjadikannya sebagai pemimpinnya.
Maka sudah seharusnya, jika kita memasuki lingkungan yang baru untuk mengetahui dan menjalankan adat dan budaya di lingkungan tersebut dengan segala aturan yang berlaku di dalamnya.