Isu gender dan kesetaraan perempuan untuk mencapai perdamaian harus didorong dan sangat penting. Aceh sendiri memiliki pengalaman mengenai hal tersebut. Terutama ketika terjadinya perjanjian dalam di Helsinki. Menurut Aktivis Perempuan Aceh, Suraiya Kamaruzzaman, dari GAM terdapat staf ahli dari perempuan, namun secara tidak ada secara resmi perwakilan mengenai gender.
”Sehingga isu-isu perempuan hilang dan seolah tidak ada persoalan. Namun, persoalan tersebut berdampak hingga saat ini. walaupun saat ini sudah Undang-Undang pemerintahan Aceh,” terangnya dalam agenda WGWC Talk 17, belum lama ini.
Dalam proses sejarah, upaya dialog damai dimulai dari perempuan. Ini menunjukan ruang perempuan menunjukan bahwa perempuan berpikir berdamaian. Hal lainya, ketika perempuan merasakan anak laki-lakinya dan suami ditarik untuk ikut ke gunung bersama TNI, para perempuan melakukan lobi terhadap TNI maupun GAM.
Hal lainnya, berdasarkan cerita di Singkil terkait rumah ibadah yang dibakar. Para perempuan membuat kesepatan-kesepatan yang dibangun dengan istilah ‘Satu Klian, Satu Rasa’. Istilah tersebut dibangun walaupun mereka semua berbeda agama. Hal lainnya yang dilakukan pada perempuan di Singkil adalah kesamaan ekonomi dan kesadaran satu wilayah.
”Hal tersebut memperlihatkan ciri-ciri jika perempuan menginginkan perdamaian. Sebelumnya, sejumlah jaringan perempuan membuat satu perubahan paskah konflik,” pungkasnya.