35.2 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Menakar Kerawanan Ekstremisme di Poso

Akhir tahun 2020 lalu, sebanyak empat warga sipil meninggal di Kabupaten Sigi, Poso. Empat orang yang merupakan satu keluarga itu tewas secara nahas usai dihabisi oleh sekelompok orang yang diduga merupakan jaringan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Ali Ahmad alias Ali Kalora.

Ini menenadakan jika tingkat kerawanan cukup tinggi di Poso. Menurut Direktur Celebes Institut Adriani Badrah, operasi DPO untuk kelompok Jama’ah Islamiah dan ISIS, sejak 2007 hingga sekarang masih tidak efektif. Ada beberapa klaster atau tingkatan terkait kelompok rentan di Poso.

”Di Poso sendiri awalnya agama dianggap sebagai pemicu konflik. Kelompok-kelompok tersebut, dengan mudah melakukan penyebaran, doktrin dan rekrutmen,” ucapnya dalam agenda WGWC Talk 17, belum lama ini.

Selain itu tingkat kerawanan kedua adalah menyasar mereka yang non-muslim, baik sifatnya suku dan agama. Tingkat kerawanan selanjutnya, para pemimpin agama dari luar Sulawesi masih dengan mudah mengajar di pesantren. Kelompok ini menyasar anak muda dengan usia produktif, yang tidak mengenal situasi konflik. Bahkan, perekrutan di luar Poso. Rekrutmen lainnya, berdasarkan persaudaraan salah satunya istri kelompok tersebut.

Faktor yang berkontribusi lainnya kelompok aktivis perempuan dan anak tidak memiliki konsep pencegahan dan penanganan ekstremisme paska konflik. Secara skill dan kapasitas masih lemah. Intervensi terhadap kebijakan masih belum maksimal. Kelompok aktivis ini meresponnya dengan emergency respon.

”Serta tidak berdasarkan analisi kebutuhan daerahnya. seperti berapa korban perempuan dan anak, berapa korban yang terdampak langsung dan tidak langsung dan juga pelaku. Karena beberapa istri mereka berkontribusi pada terror dan kekerasan,” katanya.

Harus ada pendekatan khusus, untuk masuk ke dalam kebijakan. Kerawanan lainnya, korban tidak memiliki akses informasi terkait kelompok ekstremisme. Dalam dua tahun terakhir, korban kelompok ekstremisme ini yaitu kelompok petani yang notabanenya bekerja di kebun. Selain itu, kelompok ekstremisme di Poso berada di daerah pegunungan, sehingga korbannya tidak dalam dua tahun terakhir tidak banyak di daerah perkotaan.

”Jika ini menjadi tanggungjawab bersama implementasi dari RAN PE tersosialisasi dengan baik, saya piker kita mampu akan menyelesaikan step by step. Kita dapat berperan daerah poso memberika jaminan tidak ada lagi embrio ekstremisme,” harapnya.

Selainnya, dia juga menjelaskan jika hal tersebut dilaksanakan secara serius, sistematis, kolaboratif dan melibatkan tokoh agama dalam pelaksanakan pencegahan dan penanganan ekstremisme. Di sisi lain, operasi keamanan selama ini dijalankan secara tertutup. Sehingga, semua stakeholder harus berjalan dan bekerja secara kolaboratif.

”Simpatisan kelompok ini terus ada namun kita ingin menutup kran ini. selama ini media sosial menjadi salah satu cara yang terus membuat kelompok ekstremisme muncul,” pungkasnya.

TERBARU

Konten Terkait