Konflik kemanusiaan yang pernah berkecamuk di Maluku pada tahun 1999 silam telah menjadi sejarah paling kelam sekaligus pembelajaran berharga bagi warga di daerah itu bahwa perang hanya akan melahirkan penderitaan yang berkepanjangan. Bagi warga yang mengalami langsung konflik Maluku di tahun 1999-2003, hidup di zaman konflik tak ubahnya seperti hidup dalam situasi paling kejam, di mana setiap hari akan ada nyawa yang melayang dan rumah warga yang dibakar.
Sepanjang periode konflik Maluku, tercatat ribuan warga mati terbunuh, ribuan rumah dan fasilitas umum termasuk rumah ibadah hangus terbakar serta ratusan ribu warga terpaksa mengungsi dan meninggalkan Maluku. Bagi penduduk yang perkampungannya hangus terbakar, tak ada pilihan lain kecuali memilih hidup di lokasi pengungsian dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.
Diakui oleh pendiri Lembaga Pemberdaaan Perempuan dan Anak Maluku Baihajar Tualeka, untuk membangun dan memperbaiki kohesi sosial di Maluku, membutuhkan waktu yang cukup panjang. Hingga saat ini, tidak sedikit komunitas atau masyarakat di Maluku yang masih curiga satu sama lainnya dengan kelompok agama yang berbeda.
”Ketika konflik, para perempuan memiliki dampak yang luar biasa dari konflik. Tidak sedikit para perempan yang miskin dan juga mendapatkan kekerasan. Namun, para perempuan di Maluku sendiri bertekad untuk melakukan pemulihan yang dimulai dari diri sendiri, menerima orang lain dan belajar memaafkan orang lain sebelum bicara damai tersebut,” terang perempuan yang saat ini menjadi aktifis dalam agenda WGWC Talk 17, Rabu (19/5/2021).
Selain itu, para perempuan di berbagai komunitas melakukan pelatihan psikososial berbasis komunitas yang integratif. Di mana para perempuan ini bicara pemulihan, sekaligus memetakan masalah yang dihadapi perempuan itu sendiri. Bahkan, ruang integrasi tersebut dimulai di ruang perjumpaan yang sederhana, yaitu acara makan bersama, posyandu dan lainnya.
Gerakan ibu-ibu di Maluku dilakukan secara alami dan terus-menerus. Diakui olehnya, perdamaian di Maluku dianggap hal yang mahal. Sehingga, perdamaian yang mulai dijalin harus dibangun dan dirawat dengan baik. Di dalam komunitas, para perempuan belajar untuk tidak mudah terprovokasi dan menginisiasi perdamaian yang dimulai dari ibu-ibu.
Di Maluku, diterangkan olehnya, hingga saat ini sejumlah kecurigaan di masyarakat masih terus terjadi. Bahkan, sejumlah kelompok ekstrem di Maluku terus menyebarkan paham agar tidak berinteraksi dengan kelompok yang berbeda.
Hal tersebut menjadi tantangan tersendiri. ”Namun, jika hal tersebut terus terjadi, para perempuan di Maluku tidak akan menemukan makna damai tersebut. Sehingga para perempuan di Maluku mulai melakukan integrasi perdamaian dimulai dari hal sederhana,” pungkasnya.