Konflik poso terjadi saat berlangsung adanya pertikaian antara dua kelompok agama di Poso, Sulawesi Tengah, pada tahun 1998 hingga tahun 2000. Konflik ini menyebabkan banyak korban meninggal, selain banyaknya kerusakan akibat kerusuhan. Untuk menyelesaikan konflik ini, dilakukan perundingan damai yang berlangsung di Malino sebuah kota di dekat Makassar, Sulawesi Selatan.
Perundingan ini difasilitasi Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla, Majelis Ulama Indonesia, Dewan Gereja Indonesia dan Gubernur Sulawesi Selatan H.Z.B Palaguna. Upaya penyelesaian ini melibatkan seluruh elem masyarakat Poso, baik yang beragama Islam maupun Kristen.Pembicaraan damai ini berlangsung pada bulan Desember 2001, dan menghasilkan Deklarasi untuk penghentian konflik bersenjata, toleransi beragama dan hak orang warga negara untuk hidup damai di Poso. Dokumen ini kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Malino.
Deklarasi ini menyepakati pengembalikan hak-hak dan kepemilikan seperti sebelum konflik berlangsung. Pengungsi Poso dikembalikan ke tempat asal masing-masing. Bersama-sama pemerintah, kedua belah pihak akan merehabilitasi sarana dan prasarana ekonomi secara menyeluruh. Realisasi dari pernyataan kesepakatan tersebut akan dilaksanakan dengan agenda-agenda serta rencana yang meliputi bidang keamanan dan penegakan hukum, dan bidang sosial ekonomi.
Namun, walaupun hal tersebut sudah terjadi sejumlah operasi keamaan masih terus berlangsung hingga saat ini. Diakui oleh Ketua Celebes Institut Adriani Badrah, agama menjadi hal yang menjadi pemicu konflik. Hal ini menjadi tugas berat bagi para aktivis yang bekerja dalam pemulihan korban, perdamaian dan rekonsiliasi. ”Selain merusak kohesi sosial di masyarakat, hal tersebut menimbulkan segregasi di masyarakat, dampaknya, para aktivis harus bekerja keras dengan komunitas yang trauma, tertutup dan saling mencurigai,” terangnya, dalam agenda WGWC Talk 17, Rabu (19/5/2021).
Dengan tantangan tersebut, diungkap olehnya, dibarengi dengan sejumlah resiko akan tetapi peran perempuan menjadi garda terdepan dalam aktifitas sosial dan ekonomi. Para perempuan banyak melakukan integrase dengan komunitas yang berbeda dan berdampak pada peningkatan ekonomi mereka. Peran public di Poso banyak diambil alih oleh perempuan.
”Peran perempuan dengan mudah dapat diterima. Di saat yang bersamaan memiliki kepekaan tersendiri,” katanya.
Sejumlah operasi militer pada saat konflik terus berlansung. Mulai dari 2007operasi keamaan menjadi operasi DPO terhadap sejumlah orang yang berafiliasi dengan kelompok ekstremisme di Poso. Namun, operasi tersebut tidak menimbulkan rasa aman kepada masyarakat. Di saat yang bersamaan, terjadi aksi-aksi eksploitasi ekstremisme agama di Poso. Hal ini diperparah jika tidak ditangani dengan komfrehensif. Sejumlah agenda politik seperti pemilihan kepala daerah, DPR dan lainnya, bukan meredam konflik yang terjadi. Namun, menimbulkan segregasi yang terjadi.
”Di dalam momentum politik tersebut, terdapat power sharing yang menjadi segregasi terus menguat. Hal lainnya, operasi keamanan masih terus berlangsung. Di saat yang bersamaan, hak-hak warga (korban) tidak terjadi, mulai dari kebijakan dan lainnya,” ucapnya.
Sejumlah inisiatif masyarakat terus dilakukan, karena sejumlah aksi yang dilakukan oleh pemerintah masih belum maksimal untuk menyelesaikan segregasi di masyarakat Poso. Jika pemerintah daerah tidak serius dalam penanganan konflik di Poso, konflik di Poso akan menjadi konflik horizontal kembali. ”Di satu titik kami yang bekerja di isu ini merasa letih. Konflik masa lalu masih belum selesai dan diobati, namun harus mengalami luka yang dalam lagi (trauma). Jika ini dibiarkan, masyarakat akan memberontak,” terangnya.