29.5 C
Jakarta
Minggu, 8 September 2024

Ekstrimisme Kekerasan di Wilayah Paskah Konflik, Kepemimpinan Perempuan Daya Tangkalnya

Penulis: Ruby Kholifah
Direktur AMAN Indonesia
SC WGWC

Minggu lalu, 11 Mei 2021, berita menggemparkan tentang terbunuhnya 4 orang petani di desa Kalimago Kecamatan Lore Utara/ Napu, tidak saja menimbulkan ketakutan para warga, khususnya yang kesehariannya bekerja di kebun, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar tentang keamanan di Poso. Kejadian teror serupa juga telah terjadi pada November 2020, dimana 5 keluarga mengalami pembunuhan, penyiksaan, dan pelukaan fisik, yang membuat warga di desa Lembantongoa, Kab. Sigi, saat ini satu per satu meninggalkan desanya karena tidak dianggap aman lagi. Mengapa teroris semakin sering menunjukkan aksi-aksi teror di wilayah Poso? Benarkah daerah konflik atau pasca konflik memiliki tingkat risiko lebih tinggi terpapar radikalisme? Bagaimana kekuatan kepemimpinan perempuan bisa menjadi sumber-sumber resistensi pada radikalisme dan ekstrimisme yang efektif?

Working group on Women and PCVE (WGWC) menyadari ada banyak “untold and unheard stories” yang terkait dengan ekstrimisme kekerasan yang kurang mendapatkan perhatian, salah satunya adalah ekstremisme kekerasan di wilayah pasca konflik. Dari tiga nara sumber yang dihadirkan pada cara WGWC TALK ke 17 pada 19 Mei 2021 yaitu Adriani Badrah (Poso), Bai Tualeka (Maluku) , dan Suraiya Kamaruzaman (Aceh), kita jadi belajar, betapa banyak lapis-lapis kerentanan yang berpotensi membesarkan radikalisme dan ekstremisme kekerasan. Di Maluku, Bai menegaskan perkampungan yang tersegregasi berdasarkan agama masih banyak. Dulunya, perpindahan , akibat arus pengungsian selama konflik, jika tidak ada ruaang perjumpaan multi agama dan ethnik, bisa menjadi medium subur pengerasan identitas berbasis agama.

Di Poso, panjangnya operasi keamanan tidak berbanding lurus dengan semakin terlindunginya warga biasa kelompok teroris yang telah bersembunyi di hutan-hutan. Menurut Yuni Chuzaifah, penanggap diskusi pagi ini, bahwa orang-orang yang menjadi target terorisme, dicurigai sebagai informan. Ini artinya bahwa operasi intelejen yang melibatkan warga biasa, sungguh bukan pilihan pendekatan yang tepat.

Tingginya intoleransi di Aceh pasca perjanjian Helsinki, mengkhawatirkan Suraiya Kamaruzaman dari Balai Syura, apalagi ditambah dengan sikap denial (peningkaran) terhadap isu-isu radikalisme dan ekstrimisme kekerasan di Aceh. Sebagai daerah yang pernah mengalami konflik panjang, Aceh punya pekerjaan rumah yang besar untuk memastikan keadilan hadir di semua lapisan masyarakat, termasuk kelompok Inong Bale (pasukan perempuan GAM) dan korban kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, yang sering terlupakan.

Kerentanan-kerentanan yang berlapis di wilayah konflik ini tidak saja mendorong kita untuk membaca kembali “nature” terorisme paska kejatuhan ISIS, dimana lokus hijrah tidak lagi di Syiria, tetapi di regional. Kamaruzzaman Bustanul Ahmad (KBA) menyebut gerakan baru ini dengan nama Darul Islam Nusantara (DIN) yang meletakkan aras perjuangan mereka selain pada ideologi keislaman, tapi juga identitas “kemelayuan” yang memang memiliki teritori se-Asia Tenggara. Gerakan ini berpotensi membesar dan menarik perhatian para “barisan sakit hati” yang dihianati dalam proses politik. Apalagi melihat model politik yang dikembangkan semuanya mengarah kepada politik identitas. Bahkan menempatkan kelompok-kelompok keislaman garis kanan sebagai bagian dari koalisi non formal, untuk pemenangan. Yuni juga menyoroti peredaran narkoba di daerah konflik bisa menjadi pemicu, ini karena di banyak sejarah dunia, keterkaitan narkoba dan kejahatan yang terorganisasi sangat tinggi. Tidak menutup kemungkinan bahwa peredaran narkoba, senjata ilegal, menjadi sumber-sumber baru terorisme di Indonesia.

Meski demikian, kekuatan kohesi sosial dan tingkat resiliensi masyarakat akan menjadi sumber-sumber kuat melakukan penolakan terhadap paham radikalisme. Apalagi kelompok perempuan di Maluku telah lama tercatat sebagai rekonsiliator genuin, dimana kerja-kerja pemulihan tetap dijalankan terus, dengan menggunakan pendekatan integratif, menghubungkan seluruh aspek kehidupan perempuan korban. Perempuan Maluku juga telah lama merawat ruang-ruang perjumpaan, dengan yang berbeda, dan membuat jembatan-jembatan kecil komunikasi di kampung-kampung berbasis agama. Di Aceh, melalui kepemimpinan kolektif Balaisyura, kekuatan perempuan sebagai gerakan telah membuktikan konsistensinya dalam mengawal kebijakan pemerintah agar tetap sensitif gender dan merefleksikan kebutuuhan perempuan. Pemunculan Piagam Hak Perempuan telah tersosialisasi secara luas dan dikenali, meskipun sayangnya belum terdokumentasi dan resmi diadopsi dalam kebijakan negara, dalam Qanun terkait kesehatan, klausul tentang kesehatan reproduksi mengambil dari Piagam Hak Perempuan.

Perempuan Poso juga sangat dinamis, berkembangnya sekolah-sekolah kritis perempuan yang dikembangkan oleh banyak lembaga perempuan, juga menandai betapa penting pondasi kesetaraan gender dan pemberdayan perempuan dalam memperkuat segala upaya pencegahan ekstremisme kekerasan. Ini karena kunci resistensi ajaran radikal adalah pikiran kritis. Meski demikian, saya sepakat dengan Adriani Badrah, dari Celebes Instiute, menegaskan pentingnya kebijakan yang jelas tentang penanganan teorrisme di wilayah pasca konflik. Ini karena konteks sejarah, komunitas pasca konflik masih kuat residu konfliknya, sehingga pendekatan khusus perlu untuk didekati. “Anak-anak yang direkrut oleh kelompok Mujahidin Indonesia Timur (MIT) kebanyakan tidak memiliki memori tentang konflik,” Adriani menambahkan satu kerentanan lagi. Saya mengasumsikan bahwa tidak adanya memori konflik, artinya absennya memori kekerasan, ketakutan dan kebencian saat konflik, yang akhirnya tidak menjadi pembelajaran pentingnya kerukunan dan damai.

Sekjend PBB dalam Plan of Action yang dikeluarkan pada 2015, telah menempatkan dua pilar penting yang relevan menghubungkan konflik dan ekstrimisme kekerasan yaitu dialog dan pencegahan konflik, dan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Artinya, bahwa segala upaya pencegahan konflik dan penguatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, merupakan upaya pencegahan ekstrimisme kekerasan. Wilayah konflik atau pasca konflik sangat berisiko tinggi, bukan saja karena masih banyaknya perasaan kekecewaan karena ketidakadilan, tetapi juga terrisme dan ekstrimisme bisa menggunakan akar-akar ketidakadilan untuk meluaskan dukungan dan mengontrol sumber daya yang ada, termasuk orang-orangnya. Kepemimpinan perempuan adalah kunci. Jika perempuan berdaya, maka dia akan menjadi sumber resistensi besar untuk membentengi keluarga dan komunitas. Saya tidak mengatakan laki-laki tidak bisa. Tapi 14 tahun bekerja dengan AMAN Indonesia memperkuat leadership perempuan, saya menyaksikan sendiri secara alamiah perempuan memiliki karakter komunal dan sosial yang kuat untuk melakukan perubahan. Mereka a game changer yang genuine. ***

TERBARU

Konten Terkait