Sebagai orang yang aktif dalam komunitas lintas iman, bisa dikatakan saya cukup “khatam” dengan terma-terma seperti toleransi, pluralisme, multikulturalisme, hingga Bhineka Tunggal Ika. Saya juga bisa merapal nama-nama organisasi intoleran yang sering menjadi biang keladi atas peristiwa-peristiwa tidak menyenangkan yang diterima oleh teman-teman minoritas keagamaan—dan saya tentu saja termasuk sebagian orang yang turut bersuka cita ketika FPI dibubarkan negara. Waktu itu, sayahaqqulyaqin setelah FPI hilang, tidak akan ada lagi ormas yang suka cari gara-gara. Bismillah, bismillah, Indonesia damailah!
Kenyataannya, gayung bersambut, kata tidak berjawab. Keinginan melihat Indonesia damai tanpa konflik agama tidak terlaksana karena bubarnya FPI tidak menghentikan kasus diskriminasi dan intoleransi terhadap kelompok minoritas keagamaan.
Kamis, 6 Mei 2021 lalu, Bupati Garut, Rudi Gunawan, menerbitkan Surat Edaran Nomor 451.1/1605/Bakesbangpol tentang Pelarangan Aktivitas Penganut Jemaah Ahmadiyah Indonesia dan Penghentian Kegiatan Pembangunan Tempat Ibadah Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Kampung Nyalindung, Kecamatan Cilawu, Kabupaten Garut. Sebuah surat yang membuat Satpol PP bersama kelompok masyarakat Kabupaten Garut menyegel dan menghentikan pembangunan Masjid Ahmadiyah di sana.
Kejadian ini membuat saya menghela napas, lalu teringat peribahasa: tidak ada rotan (FPI, tukang main hakim sendiri, biang keladi intoleransi), akar (pemerintah daerah) pun jadi…
Dari kejadian ini saya jadi belajar bahwa pembubaran kelompok intoleran—yang selama ini bagi komunitas lintas agama yang saya ikuti jadi satu-satunya villain dalam kasus intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas—tidak serta merta menghilangkan masalah karena…
…ternyata, tanpa saya sadari, ada entitas lain yang luput dari pembahasan setiap membahas intoleransi pada kelompok minoritas, dan entitas tersebut adalah: Negara…
Penghentian kegiatan pembangunan tempat ibadah Jamaah Ahmadiyah di Kabupaten Garut hanya manifestasi kecil dari negara sebagai pelaku diskriminasi dan intoleransi. Manifestasi besarnya adalah: kebijakan-kebijakan diskriminatif terhadap kelompok keagamaan minoritas seperti UU PNPS No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama—yang secara eksplisit dalam Pasal 1 hanya mengakui enam agama yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius).
Undang-undang ini juga menegaskan hanya enam agama tersebut yang berhak mendapat bantuan dan perlindungan; di luar itu, Presiden dapat membubarkan atau menyatakan organisasi/aliran keagamaan sebagai organisasi/aliran yang terlarang. UU ini membuat negaralah yang menentukan mana aliran yang benar dalam sebuah agama, mana yang sesat, mana yang diterima. Dan ketika negara terlibat dalam keputusan ini, bisa dipastikan tidak netral.
Dalam konteks Ahmadiyah, selain fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tahun 2005, ada juga Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tahun 2008 tentang penghentian kegiatan Jamaah Ahmadiyah. Dua kebijakan yang selama ini sering kali dijadikan “pembenaran” bagi kelompok intoleran ketika melakukan diskriminasi, persekusi, hingga kekerasan terhadap Jamaah Ahmadiyah. Seketika saya merasa miris ketika menyadari bahwa negara adalah entitas yang paling getol menyerukan toleransi, tetapi di saat bersamaan ternyata menjadi pelaku utama intoleransi.
Yang lebih membuat miris lagi, dalam sebuah jurnal yang berjudul Productive intolerance: Godly Nationalism in Indonesia (2014) yang ditulis oleh Jeremy Menchik, Associate Professordi Universitas Boston yang sering meneliti mengenai hubungan agama dan nasionalisme di Indonesia,ia menyebutkan praktik intoleransi adalah salah satu faktor yang digunakan untuk membangun rasa nasionalisme di Indonesia.
Menchik melakukan pembacaan yang berbeda terhadap diskriminasi dan intoleransi yang dilakukan terhadap kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah. Ketika kebanyakan pengkaji menyalahkan kelompok radikal atau masyarakat sipil yang dianggap tidak memahami nilai-nilai luhur toleransi, pluralisme, multikulturalisme, dan Bhineka Tunggal Ika, Menchik justru membeberkan keterkaitan nasionalisme dan agama melalui konsep “godly nationalism” yang menggambarkan bagaimana persamaan atas konsep ketuhanan yang Esa dimobilisasi oleh negara melalui kerja sama dengan organisasi keagamaan arus utamauntuk memproduksi perasaan “in group” yang kemudian digunakan untuk mengikat masyarakat.
Konsep godly nationalism sendiri berbicara mengenai pemahaman bahwa di Indonesia, kehidupan berbangsa dan bernegara tidak mengeksklusikan agama seperti yang dilakukan oleh negara-negara sekuler Barat. Di sini, agama adalah hal yang baik, tanda moralitas dan menjadi bagian integral dari pembentukan Republik. Tetapi, agamajuga tidak serta merta menjadi satu-satunya pedoman dalam kehidupan seperti yang diterapkan oleh negara-negara yang menganut sistem teokrasi. Dengan kata lain, Indonesia mengatur agama, tapi tidak saklek menjadikan satu agama sebagai pedoman.
Konsekuensi logis dari konsep ini adalah: seseorang baru dianggap sebagai anggota masyarakat secara penuh dan berhak mendapatkan perlindungan negara dan manfaat lain sebagai warga negara ketika memiliki kepercayaan terhadap keesaan Tuhan dan menganut salah satu dari enam agama yang telah diatur. Sebaliknya, orang yang tidak mempunya kepercayaan yang sama secara aktif akan dikucilkan karena dianggap dapat memecah persatuan nasional dan menodai agama. Akhirnya godlynationalismsecara terang-terangan memberikan keistimewaan terhadap kepercayaan tertentu dan mempersekusi aksi penyimpangan sebagai sebuah bentuk penistaan.
Menchik menyebut praktik intoleransi terhadap kelompok menyimpang ini sebagai faktor yang membantu membangun rasa nasionalisme karena persekusi terhadap kelompok tersebut membawa kelompok-kelompok yang awalnya berselisih karena doktrin agama, kepentingan politik, dan perbedaan kelas ekonomi menjadi berada dalam satu suara.
NU dan Muhammadiyah, misal, meskipun dalam beberapa kesempatan berselisih terkait perbedaan pandangan terhadap doktrin agama, menurut survei yang dilakukan Menchik di tahun 2010 yang ia publikasikan dalam thesisnya yang berjudul, Tolerance without Liberalism: Islamic Institutions and Political Violence in Twentieth Century Indonesia menunjukkan bahwa pemimpin Muhammadiyah dan NU punya kesamaan yang cukup tinggi perihal ketidaksepakatan mereka terhadap Jamaah Ahmadiyah yang ingin membangun tempat ibadah di Jakarta, dan Jamaah Ahmadiyah yang ingin mengajar Pendidikan Islam di sekolah negeri. Yang menarik, para pemimpin ormas besar ini percaya bahwa Kristen dan Hindu harus mendapatkan izin keagamaan dan kebebasan politik yang lebih besar.
Dalam sidang uji materi UU PNPS No.1 Tahun 1965 pada 2009, NU bahkan satu suara dengan FPI terkait
pengeksklusian Ahmadiyah sebagai aliran Islam. Saksi dari NU mengatakan bahwa negara punya hak untuk menentukan apakah kelompok keagamaan dikatakan menyimpang dan dapat memaksa kelompok tersebut untuk memilih agama yang sudah diakui. Mayoritas penduduk juga bisa memutuskan secara demokratis dan transparan jika sebuah kelompok dianggap di luar Islam. Sama halnya ketika Katolik bisa menolak Jehovah, dan melarangnya, Protestan menolak Mormon dan melarangnya. Semua komunitas dapat meregulasi diri mereka sendiri. Dan permasalahan Ahmadiyah dapat diselesaikan apabila mereka mendeklarasikan diri sebagai non-Muslim, jadi tidak perlu ada perdebatan dengan kelompok muslim yang ada. Dalam sidang tersebut saksi dari MUI menegaskan bahwa tidak ada hubungannya HAM serta kebebasan beragama dengan Ahmadiyah karena Ahmadiyah sama sekali tidak diakui sebagai agama.
Dari sini, kita bisa melihat signifikansi dari penargetan Ahmadiyah—menyatukan negara dan masyarakat sipil sebagai bangsa yang memang percaya akan keesaan Tuhan.
Temuan yang dipaparkan Menchik menjadi sangat masuk akal untuk memahami alasan mengapa selama ini negara dan organisasi keislaman arus utama sama sekali tidak responsif—jika tidak dikatakan melakukan pembiaran—terhadap diskriminasi, intoleransi, dan persekusi yang diterima oleh Jamaah Ahmadiyah. Di beberapa kesempatan bahkan ketika FPI melakukan penyerangan, aparat keamanan sering kali memberikan bantuan pada mereka. Artinya aparat sendiri melihat agenda mereka beriringan dan kelompok-kelompok intoleran tersebut.Ekstremnya seperti yang terjadi di Kabupaten Garut tadi, Negaralah yang menjadi pelaku intoleransi.
Disadari atau tidak, selama ini yang vokal melakukan protes dan kecaman terhadap aksi-aksi diskriminasi dan intoleransi terhadap Jamaah Ahmadiyah adalah organisasi masyarakat sipil, aktivis lintas iman, penggiat aliran kepercayaan, Komnas HAM, dan Amnesti Internasional. Tidak banyak berita mengenai Kementerian Agama, MUI, atau organisasi Iislam arus utama yang mengecam kejadian yang sama.
Pada akhirnya penyelesaian konflik terhadap kelompok minoritas keagamaan masih akan menempuh jalan panjang. Diskriminasi, stigmatisasi, persekusi hingga kekerasan masih berpotensi terjadi terhadap Jamaah Ahmadiyah karena godlynationalism mengizinkan negara berkomitmen pada bentuk pluralisme yang terbatas. Artinya, jargon-jargon seperti toleransi, pluralisme, multikulturalisme, hingga Bhineka Tunggal Ika sebenarnya hanya berlaku pada kelompok mayoritas keagamaan saja.