Working Group on Women and CVE (WGWC) melakukan diskusi dengan penyintas, Jumat (7 Mei 2021). Salah satu penyintas Vivi Normasari menjelaskan Yayasan Keluarga Penyintas saat ini masih bergerak untuk menginformasikan sejumlah peraturan tentang korban bom. Seperti RAN PE dan Undang-undang LPSK.
”Kami sosialisasi hak-hak korban terkait layanan psikososial, kompensasi dan lainnya. Syukur alhamdulilalh, teman-teman kami dari Yayasan Keluarga Penyintas ada 128 penyintas, baik layanan medis, psikososial dan kompensasi sudah dilayani. Begitu juga dengan korban bom Bali 1 dan 2 ada 13 korban. Saat ini sedang tahap assessment BNPT dan LPSK,” terangnya.
Tercatat, korban bom cukup banyak, namun BNPT dan LPSK masih belum mencapai 500 orang. Kita membantu dan mensosialiasikan para korban untuk mendapatkan haknya. Sehingga, pihaknya memilih untuk melakukan sosialisasi undang-undang. Diakui olehnya, pihaknya cukup marathon melakukan sosialisasi tersebut.
”Dalam undang-undang LPSK pelayanan kesehatan hanya dua tahun, namun faktanya sejumlah korban bisa layanan medis lebih dari kurun waktu tersebut,” katanya.
Layanan untuk beasiswa anak-anak korban, diungkap olehnya, terdapat kendala karena system. Hanya mendapatkan beberapa kali saja bantuan atau beasiswa dari KIP. Selain beasiswa SD, SMP dan SMA, dibutuhkan beasiswa kuliah juga. Dalam beberapa kasus, anak korban bom sempat ditolak kemendikbud.
Dia berharap korban tidak langsung bisa mendapatkan layanan medis juga. Sebab, dalam undang-undang tidak mendapatkan layanan. ”Selain itu, kami juga membutuhkan pelatihan untuk wirausaha untuk bisa membuka pekerjaan sendiri. Sebab, selama ini kami kesulitan mendapatkan pekerjaan,” pungkasnya.