28.6 C
Jakarta
Senin, 9 September 2024

Dikit-Dikit Kekerasan, Dikit-Dikit Kekerasan, Kapan Damainya?

Semasa SMP, saya ingat pernah dihukum karena berkelahi dengan teman laki-laki di kelas. Waktu itu kami dipanggil oleh guru BK untuk diinterogasi mengenai alasan berkelahi. Saya bilang, saya hanya membalas si teman yang tiba-tiba memukul tanpa alasan. Teman saya berdalih kalau dia hanya bercanda, dan bilang kalau saya yang menyebabkan perkelahian karena memberikan respons yang berlebihan—dia bilang, dia memukul dengan pelan, tapi karena saya balas dengan lebih keras, dia marah dan akhirnya ingin membalas dengan memukul lebih keras lagi, pukulan dibalas dengan pukulan sampai akhirnya salah satu dari kami menangis (betul, dia yang menangis, perkelahian berhenti tepat setelah saya memukul wajahnya dengan buku PKN yang tebalnya lumayan).

Keputusan guru BK setelah mendengar penjelasan kami adalah: menghukum kami berdua. Waktu itu jujur saya tidak terima ikut dihukum karena saya merasa tidak bersalah. Maksud saya, kalau saja si teman tidak memukul saya terlebih dahulu, perkelahian itu pasti tidak akan pernah terjadi. Kalau saja si teman bisa menahan diri untuk tidak bercanda dengan kekerasan, hidungnya pasti tidak akan mimisan oleh sebab buku pelajaran yang mendarat di wajahnya…

Saya pikir alasan kenapa saya tidak bisa menerima bahwa saya juga dihukum adalah karena waktu itu saya belum dewasa. Mungkin nih ya, mungkin, kalau saya lebih dewasa, ketika si teman bercanda dengan memukul saya, yang akan saya lakukan bukan balas memukul tapi berkata, “wahai teman, kiranya apakah alasan engkau memukul saya?”, jika si teman menjawab, “Oh, Nial, saya hanya bercanda”, saya akan balas menjawab, “Teman, memukul itu tidak baik, saya tidak suka. Jangan diulangi lagi, ya! Oh iya, saya juga tidak suka kamu selalu mengganggu saya, juga tidak suka kamu selalu meminjam alat tulis tapi tidak pernah mengembalikannya, juga tidak suka kamu menyontek PR saya, dst dst dst”, mendadak saya ingat keburukan si teman ini bukan hanya memukul, tapi juga banyak hal menyebalkan lainnya. Sebentar, sebentar, setelah saya pikir-pikir lagi, sudah betul dulu saya balas memukul. Itu artinya saya sudah muak atas sikapnya yang menyebalkan, dan kali ini saya tidak diam saja, tetapi berani melawan.

Dari kejadian ini saya belajar bahwa kekerasan akan selalu berujung pada kekerasan. Meskipun tidak langsung dibalas, orang yang mendiamkan kekerasan, ujung-ujungnya bakal muntab dan pasti membalas kekerasan yang selama ini dia diamkan—dengan cara yang biasanya lebih mengerikan. Hiii.

Kalau ditarik ke konteks yang lebih luas, saya pikir kita bisa melihat sendiri bagaimana pendekatan yang melibatkan kekerasan sering kali mereproduksi kekerasan-kekerasan baru. Ini terjadi di semua hal. Dalam konteks terorisme malah sangat kentara. Jika mau menyebut asal muasal teroris sejak peristiwa 9/11, kita bisa melihat bagaimana serangan yang dilakukan Al-Qaeda disebut sebagai “pembalasan atas kekerasan yang dilakukan Barat terhadap kelompok muslim di Timur Tengah”. Nah, sejak itu, Barat melakukan balasan dengan melakukan operasi militer terhadap Al-Qaeda, Al-Qaeda kembali membalas, Barat juga membalas, dan begitu terus sampai akhirnya yang tersisa dari konflik ini hanya Irak dan Afghanistan yang jadi negara porak poranda. Menangessss.

Biar lebih dekat, kita membahas Indonesia, deh. Asal kalian tahu, ya, banyak teroris di Indonesia yang bergabung kedalam kelompok teror karena mereka menjadi korban konflik yang melibatkan kekerasan seperti yang terjadi di Poso dan Ambon. Konflik komunal yang terjadi di sana membuat anak-anak kecil menyaksikan bagaimana orang tua dan keluarga mereka terbunuh dengan cara yang menyakitkan. Akhirnya, mereka tumbuh dengan amarah dan keinginan untuk membalas. Makanya nggak heran kalo ada yang dari kecil sudah jadi tentara anak, mereka dilibatkan untuk melakukan kekerasan—hingga membunuh, dan merasa biasa-biasa saja karena kengerian itulah yang sempat mereka saksikan.

Fakta bahwa kekerasan menciptakan kekerasan baru inilah yang membuat pendekatan militeristik sering kali dipertanyakan. Pendekatan militeristik, khususnya yang mengabaikan HAM, hanya akan memperpanjang rantai kekerasan. Saya beri ilustrasi seperti ini: seorang anak melihat ayahnya ditangkap oleh polisi, disiksa, atau bahkan sampai ditembak mati. Anak mana pun, saya pikir akan mengalami trauma yang menyebabkan dia membenci polisi setengah mati. Dari sini si anak bisa berpotensi menjadi pelaku kekerasan selanjutnya. Nah, kalau anak yang menyaksikan kekerasan ini satu orang, artinya akan ada potensi muncul satu pelaku baru, kalau dua? tiga? empat? nah, di sinilah saatnya mengeluarkan pepatah, “mati satu tumbuh seribu”.

Seram? Jelas.

Kalian tahu nggak apa yang lebih seram? Perkataan Ketua MPR RI Bambang Soesatyo, saat mengomentari terbunuhnya kepada BIN daerah Papua dengan bilang bahwa kelompok kriminal bersenjata (KKB) harus ditumpas habis—tanpa harus mengindahkan norma HAM

Jika ditranslasi dengan bahasa yang sederhana, Pak ketua ini ingin seluruh anggota KKB dihabisi—dibinasakan, dihilangkan dengan cara-cara yang brutal.

Bayangkan jenis operasi militer apa yang akan diterjunkan? Bayangkan juga serangan balasan apa yang akan dilakukan? dan terakhir, bayangkan bagaimana nasib masyarakat sipil, orang-orang biasa yang ada di sana? Mereka yang tidak tahu apa-apa, buruh, petani, pedagang, ibu-ibu, perempuan muda, dan anak-anak papua yang terperangkap dalam konflik. Mereka yang selalu dicurigai sebagai KKB oleh militer, sekaligus dicurigai pendukung militer oleh KKB…
Bukan, saya di sini tidak sedang membela KKB atau bahkan membenarkan kekerasan yang selama ini mereka lakukan. Pembunuhan terhadap Kepala BIN daerah Papua harus diusut tuntas dan diberikan hukuman yang setimpal, tetapi apa kita tidak pernah belajar dari sejarah bahwa mengerahkan banyak sekali pasukan militer tidak akan menghasilkan apa-apa selain penderitaan bagi masyarakat Papua?

Kalau cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah dikit-dikit pakai kekerasan, dikit-dikit kekerasan, ya kapan damainya? Kapan-kapan??? Kekerasan di sini (dan di mana pun sih) sama sekali bukan solusi!
Semoga aja nggak ada yang mendengarkan ucapan Pak Ketua MPR yang mungkin lebih suka keadaan penuh kekerasan, ya. Semoga pemerintah lebih bijaksana dan memproses kejadian ini—dan kejadian apa pun yang ada di Papua dengan kepala dingin, sembari memikirkan pendekatan lain yang bisa jadi solusi. Sebut saja perundingan atau negosiasi.

Terakhir, saya jadi ingat kata-kata guru BK sebelum menghukum saya dan teman laki-laki saya di perkelahian kami tadi. Beliau bilang, “kalian harus introspeksi”, mungkin itulah juga yang harus dilakukan pemerintah dan KKB di Papua. Meskipun ya saya yakin, kelompok KKB pasti mbatin, “kamu sih yang mulai konflik duluan, coba kalo kamu nggak mulai, hal seperti ini pasti tidak akan terjadi…”
Eh itu sih, saya ding yang mbatin.

TERBARU

Konten Terkait