26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Upaya Pencegahan Kekerasan pada Perempuan dan Kepemimpinan Perempuan

Jumlah perempuan di Tanah Air tercatat sebanyak 49,42% dari 270,20 juta jiwa, lebih sedikit dari penduduk laki-laki yang mencapai 50,58% (Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh BPS) Namun, sepanjang 2015-2019 persentase perempuan miskin lebih tinggi dari laki-laki, yang pada 2019 berjumlah 12,8 juta jiwa, sedangkan laki-laki miskin sebanyak 11,99 juta jiwa. Kemiskinan di Indonesia sering digambarkan berwajah perempuan. Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Olivia Salampessy hal ini dikarenakan minimnya akses perempuan terhadap hasil kebijakan termasuk masih banyak kebijakan diskriminatif terhadap perempuan, terbatasnya anggaran yang responsif gender.

”Serta kurangnya pengawasan terhadap pelanggaran hak-hak konstitusional perempuan yang berdampak pada terabaikannya kebutuhan dan kepentingan perempuan serta rentan menjadi korban kekerasan di ranah personal, publik dan negara,” ucapnya, Rabu (21/4/2021).

Dari Indek Pembangunan Manusia (IPM), menunjukkan masih tingginya ketidakadilan terhadap perempuan Indonesia dalam pembangunan. Ditambah lagi tingginya angka kekerasan yang dialami perempuan justru pada masa Pandemi COVID-19. Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan 2021, merekam pengaduan langsung kasus kekerasan terhadap perempuan, yaitu sebanyak 2.389 kasus dibandingkan tahun sebelumnya yakni 1.419 kasus, atau terjadi peningkatan pengaduan 970 kasus (40%) di tahun 2020.

Ranah kekerasan terbanyak tahun 2020 yang diadukan langsung ke Komnas Perempuan adalah ranah personal (KDRT) sebanyak 1.404 kasus (65%), ranah publik/komunitas 706 kasus (3%) dan negara 24 kasus (1%). Konstitusi negara telah menjamin pemenuhan hak asasi perempuan, begitu pula dengan sejumlah peraturan dan perundangan lainnya seperti ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan melalui UU Nomor 7 Tahun 1984, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Inpres No. 9 Tahun 2000 tentang Pembangunan Pengarusutamaan Gender serta PERPRES No. 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

”Namun hingga kini, kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan belum surut secara signifikan dan pemenuhan hak-hak perempuan termasuk perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas masih harus terus diperjuangkan,” katanya.

Sebab kebijakan publik dan sejumlah keputusan politik kurang berperspektif gender dan kelompok rentan. Rendahnya pelibatan perempuan dalam proses pembuatan dan pengambilan keputusan di pemerintahan dan lembaga-lembaga publik mengakibatkan kebutuhan dan kepentingan perempuan serta pemenuhan hak-hak perempuan tidak terakomodir. Padahal dalam proses demokratisasi di Indonesia, keterwakilan dan partisipasi perempuan di lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun lembaga publik lainnya merupakan hal yang mutlak dibutuhkan.

Sudah seharusnya jumlah perempuan yang menjabat posisi tinggi di pemerintahan dan sebagai pengambil kebijakan meningkat secara signifikan. Data dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), representasi perempuan pada lembaga legislatif mencatat 118 perempuan anggota DPR RI dari 575 kursi (20,52%) dan 42 perempuan anggota DPD RI dari 136 kursi (30,88%). Sedangkan di tataran eksekutif, terjadi peningkatan jumlah menteri perempuan, terdapat 5 menteri perempuan yang menduduki pos-pos strategis yang sebelumnya didominasi laki-laki. Di pemerintahan daerah terdapat sejumlah kepala daerah dan wakil kepala daerah perempuan, yakni 1 gubernur, 3 wakil gubernur, 14 bupati/walikota dan 17 wakil bupati/wakil walikota.

Di tempat yang sama Komisioner Perempuan yang lainnya, Rainy Hutabarat mengatakan, hal ini membuktikan kemampuan perempuan sebagai pemimpin. Walaupun jumlah keterwakilan perempuan di DPR RI belum mencapai angka afirmasi 30% untuk membawa perubahan signifikan bagi perbaikan kondisi perempuan dan kesejahteraan rakyat, namun telah cukup mempengaruhi proses perumusan kebijakan hingga lahirnya beberapa produk perundang-undangan nasional, seperti UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Begitu pula dengan tampilnya perempuan sebagai Ketua DPR RI, menunjukkan kemampuan kepemimpinan perempuan. Di tataran yudikatif, terdapat 1 Hakim Konstitusi dari 7 orang dan 5 anggota Hakim Agung dari 37 orang namun tidak ada seorang pun yang menduduki posisi pimpinan.

”Komnas Perempuan berpandangan, kepemimpinan perempuan di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga publik dapat berkontribusi secara signifikan bagi terwujudnya kebijakan berperspektif gender,” ungkapnya.

Inklusif dan komprehensif, diungkap olehnya, kendati tantangan struktural dan kultural masih harus dihadapi perempuan mulai dari tahap seleksi hingga penetapannya dalam menduduki jabatan tinggi dan strategis baik di lembaga pemerintahan maupun lembaga publik. Pembangunan nasional mensyaratkan keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam berbagai bidang baik dalam hal akses, melakukan kontrol, dapat berpartisipasi maupun menikmati manfaat yang sama dalam pembangunan.

“Dengan memaknai perjuangan R.A. Kartini terhadap kesetaraan dan keadilan bagi perempuan, Komnas Perempuan merekomendasikan beberapa hal. Hal pertama, mendesak pemerintah untuk lebih berkomitmen dalam memberi akses seluas-luasnya bagi kepemimpinan perempuan,” ungkapnya.

Hal kedua, mendorong pemerintah agar sungguh-sungguh dan berani melakukan kebijakan afirmasi keterlibatan perempuan di lembaga pemerintahan dan lembaga publik, termasuk dalam setiap tahapan proses seleksi maupun kepesertaan dalam panitia seleksi. Selanjutnya, memangkas aturan-aturan yang selama ini menghambat partisipasi politik perempuan di semua bidang dan mendiskriminasikan perempuan.

”Terkahir, mendorong DPR dan partai politik berkomitmen yang kuat dalam mewujudkan kepemimpinan perempuan,” pungkasnya.

TERBARU

Konten Terkait