Selama dua hari berturut-turut (30-31/2021) berkesempatan berbagi cerita tentang ikhtiar-ikhtiar warga yang tinggal di daerah rentan VE (Violence Exstremism) untuk mengubah stempel sarang terorisme. Biar nyambung dengan postingan Haryani Saptaningtyas yang mengabarkan kegiatan di 31/3, maka kali saya mau posting kegiatan di Rabu (30/3).
Percik Salatiga dengan Polresta Surakarta menyelenggarakan Sarasehan untuk berbagi pengalaman warga Mojosemar, Solo dalam mengatasi tantangan radikalisme dan terorisme di wilayahnya. Kawasan ini sejak lama lekat dengan stempel sbg basis preman, miskin, kriminal dan daerah prostitusi. Pasca tahun 1998, stempel ini tidak banyak berubah.
Bedanya sejak periode ini, mereka mendapat stempel sbg basis ormas keagamaan yang radikal dan sebagian pendukung terorisme. Cap ini sebenarnya mengaburkan fakta mayoritas warga di daerah ini adalah moderat dan tidak setuju dengan kekerasan. Hanya mereka lama berdiam. Upaya mengubah stempel itu sdh dikerjakan sejak beberapa tahun lalu. Kami hanya memantik modal sosial yang sdh ada.
Beberapa Ikhtiar itu antara lain dengan, melakukan pemenuhan hak-hak dasar warga miskin tanpa terkecuali, termasuk eks napiter. Seorang simpatisan ormas radikal, berperan menjadi penghubung, diantara keluarga napiter dengan pemerintah. Lainnya terjadi reintegrasi sosial berbasis keluarga dan masyarakat.
Warga eks napiter dan keluarganya tidak dikucilkan tapi diuwongke. Cara ini cukup efektif untuk moderasi beragama, sekurangnya di daerah ini. Para pegiat ormas perempuan dan pemuda juga bergiat agar komunitas nya tidak masuk ke ormas radikal. Singkat cerita, upaya pencegahan kekerasan, seharusnya tidak cukup memperhatikan kelompok warga yang sdh terpapar VE tapi juga kelompok warga memilih jalan moderat, meski dia tinggal di kawasan rentan VE.