Berdasarkan riset di pusat studi transformasi praktek keagamaan local yang dilakukan oleh Percik, ada mekanisme di lokal yang membangun proses harmoni. Salah satu diantaranya adalah Selamatan yang di mana menampilkan tumpeng dengan simbol-simbolnya. Bagi pemeluk agama Jawa, tumpeng sebagai simbol eskatoligis bagaimana orang bisa mencapai spiritualitas yang tertinggi.
Di atas tumpeng ada cabai merah; yang maknanya bisa berbeda-beda. Mekanisme lokal bekerja untuk menerima kebinekaan untuk mnginterpretasikan simbol-simbol itu. Jadi pengalaman-pengalaman masyarakat ini bisa dipelajari. Dalam konteks lokal ada mekanisme untuk memampukan membangun harmoni meskipun berbeda keyakinan.

Menurut Manajer Program Inisiatif Pencegahan Kekerasan Percik Salatiga, Singgih Nugroho, ada keterkaitan isu lokal, nasional, dan global. Pada 2015 Percik membuat training dengan Pusdikbinmas Polri bersama dengan polisi yang akan ditugaskan di masyarakat dan peserta adalah anggota kepolisian dari seluruh Indonesia. Salah satu materi training adalah bagaimana kita melakukan upaya mitigasi dalam ujaran kebencian dan bagaimana seharusnya polisi menindaknya.
”Pada saat salah satu narasumber dari seorang tokoh muda NU di Jogja menyampaikan tentang kekerasan keagamaan, tetiba seorang peserta polisi dari Maluku; bangun dan interupsi dengan narasumber. Baginya ada tiga tempat suci di dunia ini: yakni pertama Mekah, kedua Masjidil Aksa, dan yang ketiga adalah makam para suhada di Ambon. Ternyata anggota polisi ini adalah korban dari konflik komunal di Ambon. Dia mengalami langsung peristiwa kekerasan itu, ada rasa trauma yang tidak bisa ditinggalkan,” terangnya.
Konflik di Ambon itu, diungkap olehnya selain akar masalah adalah ekonomi, distribusi kekuasaan berbasis keagamaan. ”Saya simpulkan bahwa warna yang digambarkan di sini tidak sama dengan yang sebenarnya di sana. Warna itu tidak tunggal; tidak ada konflik agama tetapi konflik politik. Ini soal persepsi dan informasi yang tidak utuh, memicu konflik di sini. Sehingga upaya untuk mengurangi itu seyogyanya memang peningkatan literasi agar informasi bisa dilihat warga. Tetapi juga perlu lintas koordinasi, lintas instansi,” ungkapnya.
Di saat yang bersamaan, Direktur AMAN Indonesia Ruby Kholifah menerangkan ada banyak rekomendasi penting dari survei yang menunjukkan bahwa sumber-sumber resistensi kepada radikalisme itu sangat besar. ”Tadi disebutkan bahwa survei The Wahid Fondation mengatakan bahwa potensi perempuan cukup besar. Selain itu survei Alfara ada kemiripan dengan survei itu. Dan kabar baiknya adalah bahwa orang Indonesia masih sangat kuat keagamaannya dalam tahlil, qunut, dsb; atau sesuatu yang dianggap bid’ah oleh kelompok-kelompok radikal. Kami merasa merasa kultur menjadi aspek resistensi yang bisa digunakan,” terangnya.
Generasi muda, diungkapnya perlu bisa dipastikan menerima multikulturalisme. Membangun ruang-ruang perjumpaan di masyarakat juga penting; yang di dalamnya harus ada elemen keberagaman. Substansi yang ditentang oleh kelompok radikal-teroris ini adalah keberagaman, sehingga memfasilitasi kelompok beragam untuk hadir dalam forum pertukaran menjadi penting. Jadi tidak terfokus kelompok satu agama saja, tetapi juga perbedaan gender dan lainnya.
Sumber resistensi lain adalah memperkaya referensi. Pengalaman AMAN Indonesia melalui kongres ulama perempuan Indonesia (KUPI) di daerah Thailand selatan yang mereka lebih banyak menggunakan referensi dari Malaysia yang sangat konservatif. Lalu berbasis referensi dari KUPI, mereka memiliki cara pandang baru untuk memandang dengan konteks yang berbeda. AMAN tertarik membuat referensi melalui aplikasi dan sudah aplikasi berisi 60 hadist misalnya yang mendukung upaya penegakan HAM perempuan dari perspektif Islam. Aplikasi itu bisa diunduh di playstore.
”Sumber resistensi lainnya adalah ruang-ruang perjumpaan yang disertai dengan dialog. Ruang dialog dengan masyarakat yang bisa diterima dengan aman menjadi semakin mengecil. Yang ada hanya ngobrol, tidak dialog,” jelasnya.
Ruang-ruang dialog ini, diakui olehnya sangat penting untuk dihadirkan kembali dengan mekanisme lokal dimana setiap orang memiliki kedekatan karena ada panggilan atau kesamaan pada identitias budaya. Ruang perjuampaan ini penting dan perlu ada investasi di sana. Meskipun penelitian Al Farra melaporkan bahwa generasi Z tidak tertarik terhadap ormas seperti NU dan muhammadiyah, tetapi jangan salah. Generasi Z ini memiliki ketertarikan pada lembaga-lembaga dengan karakteristik yang memungkinkan perjumpaan dengan yang berbeda; dibandingkan ke ormas yang punya bonding kuat tetapi lemah dalam mempertemukan yang berbeda.
”Generasi muda kita memungkinkan kita menjadi sumber-sumber kuat untuk melawan radikalisme di Indonesia. Tidak perlu khawatir tetapi penting membingkai cara pandang generasi muda dalam kebhinekaan yang akan memperkuat karakter,” pungkasnya.