Beberapa waktu yang lalu (28/3/2022) terjadi bom bunuh diri yang melibatkan pasangan muda di Makassar. Selang beberapa hari, terjadi serangan di Mabes Polri yang melibatkan perempuan muda. Kedua aksi teror yang terjadi melibatkan perempuan muda. Sebelumnya, sejumlah perempuan terlibat dalam aksi teror juga sudah banyak, termasuk Bom Surabaya, Sibolga, dan penusukan Pak Wiranto.
Faktor yang paling berpengaruh meningkatnya perempuan menjadi eksekutor terorisme adalah; Pertama, adanya perubahan trend terorisme itu sendiri karena hadirnya media sosial, yang membuat ruang-ruang interaksi perempuan semakin luas; kedua, adanya kesadaran penuh laki-laki dalam kelompok ekstrimis bahwa perempuan lebih bisa menyamar, sementara ada desakan para perempuan ingin melakukan jihad perang; ketiga, propaganda romantisme kombatan perempuan sudah banyak dicitrakan di global, termasuk di Indonesia.
Sejumlah organisasi perempuan menggagas Open Mic aksi solidaritas korban terror. Acara ini digagas oleh 21 lembaga, organisasi dan komunitaas, sebagai bentuk solidaritas nasional untuk tetap bersatu. Menurut salah satu penggagas acara tersebut, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menjelaskan, sekitar 25 pembicara perempuan yang akan hadir dalam agenda tersebut untuk memberikan pesan solidaritas kepada korban Bom Makassar, dan melawan bentuk aksi teror apapun yang jelas merugikan rakyat Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak.
”Kami sangat empati kepada korban, dan mendukung pemerintah memberikan bantuan medis, psikologis, dan pemulihan jangka panjang. Kami juga sangat prihatin, bahwa teror ini berhasil menyebarkan ketakutan pada seluruh warga Indonesia,” ungkapnya dalam rilis, Jumat (2 April 2021).
Open Mic ini, lanjut dia, diharapkan bisa membantu meluruskan pandangan yang menyalahkan perjuangan kesetaraan gender, sebagai inspirasi keterlibatan perempuan. ”Perjuangan kesetaraan gender bertujuan untuk memberdayaan perempuan, bukan sebaliknya membunuh perempuan,” tegasnya.
Di tempat yang bersamaan, salah satu penggagas acara tersebut, Direktur AMAN Indonesia Ruby Kholifah, pihaknya khawatir, sektor keamanan masih meremehkan perempuan sebagai teroris. Ini mengapa penting persepktif gender harus dipakai, agar lebih jeli melihat pelibatan prempuan.
”Sulitnya mendeteksi gejala terorisme juga kemungkinan besar karena tanda-tanda fisik tidak berlaku. artinya, aparat negara perlu lebih menguasai ciri-ciri non fisik. Ini artinya tidak cukup sekedar sosialisasi tapi cara-cara baru terorisme,” ungkapnya.
Diungkap olehnya, sudah saatnya pemerintah dan keamanan perkuat Pengarusutamaan gender (PUG) agar bisa baca kasus terorisme lebih luas. ”Jika pelaku laki-laki, maka membaca juga situasi istri dan anak dalam proses radikalisasi. Jika prempuan pelaku, penting melihat bagaimana pintu masuk radikalisasi pada perempuan, dimana perkawinan dan media sosial dianggap paling populer menjerat perempuan dalam radikalisme,” pungkasnya.