RAN PE : Sudahkah Inklusif Perempuan?

AMAN Indonesia dengan Jaringan Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC), bersama puluhan partnernya, menyelenggarakan Kenduri Perdamaian yang bertujuan untuk sosialisasi Peraturen Presiden No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Perlindungan dan Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan Mengarah pada Terorisme (disingkat RAN PE). Hajatan ini bukan saja sebagai ekspresi rasa syukur terhadap lahirkan sebuah dokumen yang menekankan pada pendekatan lunak pada penanganan ekstemisme kekerasan, tetapi juga sebuah dokumen yang memberikan ruang gerakan kepada masyarakat sipil dan juga pengarusutamaan gender.

Bagi saya, aturan ini tentu seperti oase yang hadir di tengah kekeringan dukungan secara legislasi yang bisa memperkuat kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, terkait dengan penanggulangan ekstremisme kekerasan. Maka, meskipun tidak sempurna, bagi saya regulasi ini memberikan dukungan pentingnya melakukan pengarusutamaan gender dalam pencagahan dan penanganan ekstremsime kekerasan.

RAN PE : Sudahkah Inklusif Perempuan?

Tulisan ini ingin membantu pembaca untuk memahami subtansi dari Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 tentang RAN PE, dan membaca peluang untuk menurunkannya dalam bentuk Rencana Aksi Daerah.

Arti Penting RAN PE
Ada banyak perdebatan yang terjadi selama proses konsultasi RAN PE, tetapi di sisi lain juga ada keinginan besar dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) untuk membuka ruang sebesar-besarnya agar prinsip inklusif diterapkan di semua level. Sebagai wakil masyarakat sipil yang terlibat dalam empat konsultasi, saya merasakan betul dinamika perdebatan terminologi ekstremisme, dan keterlibatan masyarakat sipil. Khususnya, memastikan pengarusutamaan gender terjadi di dalam aturan yang menaungi RAN ini, serta tereksplisitkan di dalam program-programnya. Lantas, apa arti penting RAN PE ini bagi masyarakat?

Pertama, RAN PE memberikan pengakuan kepada publik tentang pentingnya pendekatan lunak (soft approach) dimana aktor-aktor non tradisional keamanan, seperti organisasi masyarakat sipil, organisasi perempuan, organisasi keagamaan, organisasi adat, organisasi anak-anak muda, para tokoh lintas iman, dan para tokoh adat bisa aktif terlibat dalam upaya pencegahan ekstremisme kekerasan.

Kedua, RAN PE berkomitmen menjaga “civic space” tetap ada sehingga kerja-kerja pencegahan dan penanggulangan ekstrimisme tidak sumir, tanpa hadirnya masyarakat sipil, khususnya perempuan dan anak muda.

Ketiga, RAN PE berprinsip bahwa pengarusutamaan gender harus menjadi nafas untuk dalam kerja-kerja pencegahan sampai penanganan dampak ekstremisme kekerasan kepada perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas lain. Olehkarenanya, saya melihat ada pergeseran formula dalam meletakkan indikator gender di dalam draft RAN, dimana pada awal pembuatan, hanya menyoroti pada peran perempuan dalam pencegahan, kini ada sejumlah indikator pada intervensi deradikalisasi dan kontra radikalisme.

Tentang RAN PE
Dokumen RAN PE terdiri dari dua bagian yaitu ; Pertama, Peraturan Presiden No. 7 tahun 2021 yang membahas tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan Mengarah pada Terorisme (RAN PE); kedua, bagian lampiran yang memuat tentang landasan pembuatan RAN PE dan matrix program yang terdiri dari tiga pilar.

Pada bagian pertama yaitu dokumen Perpres No. 7 tahun 2021, terdiri dari sejumlah definisi kunci yang dibahas di dalam dokumen ini, tujuan keberadaan RAN PE, tim penanggunjawab, sekretariat bersama, dan pola kordinasi.

Sementara pada bagian kedua dari dokumen Perpres adalah lampiran yang terdiri dari penjelasan urgensi dari keberadaan RAN PE, prinsip-prinsip yang dipakai dalam RAN, dan matrix program lengkap hasil dari kompilasi berbagai kementerian lembaga.

RAN ini dibangun dengan semangat pemenuhan HAM terkait dengan perlindungan atas rasa aman bagi warga negara dari tindak pidana ekstrimisme dan terorisme. Berikut kutipan lengkapnya “RAN PE bertujuan untuk meningkatkan pelindungan hak atas rasa aman warga negara dari Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, sebagai bagian dari pelaksanaan kewajiban negara terhadap hak asasi manusia dalam rangka memelihara stabilitas keamanan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”

Sejumlah prinsip-prinsip yang dipakai oleh RAN PE diantaranya adalah hak asasi manusia; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebhinekaan dan kearifan lokal. Apa makna dari dijalankannya prinsip-prinsip ini?

Prinsip ini bisa bermakna bahwa implementasi RAN PE seharusnya mempertimbangkan pemenuhan HAM korban,baik itu korban langsung dan tidak langsung. Apalagi Indonesia sudah memiliki aturan penanganan korban melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), yang secara detil bisa dilihat di UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban . Sebagai mandat UU No. 5 tahun 2018, Indonesia telah juga mengeluarkan PP No. 35 tahun 2020 tentang Peraturan Pemerintah (PP) tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Prinsip HAM juga diterapkan pada saat penangkapan dengan mengedepankan pendekatan kemanusiaan pada saat penangkapan, dan penanganan dalam penjara. Selain itu, prinsip Yang juga tak kalah pentingnya adalah prinsip

Pada prinsip pengarusutamaan gender RAN PE menekankan pada penguatan peran perempuan dalam pencegahan ekstrimisme, yang mencakup tiga ranah yaitu deradikalisasi, kontra radikalisme, dan kesipasiagaan. Artinya, PUG dalam bentuk analisis gender seharusnya diterapkan dalam ketiga ranah kesiapsiagaan. Meskipun, tentu saja, penting memastikan adanya indikator gender di dalam dua pilar lainnya, karena gender sebagai perspektif akan membantu memetakan kebutuhan dan bentuk intervensi yang sesuai dengan gendernya.

Dan yang terakhir adalah prinsip tata pemerintahan yang bersih adalah kunci keberhasilan, karena komitmen tinggi tanpa didukung oleh sistem demokratis dalam penanganan tindak pidana ekstrimisme, maka akan kurang maksimal. Artinya semua upaya tidak akan bisa menyasar pada root causes yang menyeret laki-laki maupun perempuan terlibat dalam ekstrimisme.

#Tulisan ini ditulis oleh Ruby Kholifah, SC WGWC dan Direktur AMAN INdonesia

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top