Ada beberapa tantangan yang terjadi akhir-akhir ini, seperti bom di Makassar. Fakta ini menunjukan agama dan etnis tidak hanya modal integrasi tetapi potensial disintegrasi juga. Politik identitas juga menguat. Ujaran kebencian di era media sosial. Menurut Manajer Program Inisiatif Pencegahan Kekerasan Percik Salatiga, Singgih Nugroho, hoak sudah sejak lama tapi semakin massif dengan media sosial. Banyak data penelitian terkait kekerasan ekstrimisme. Kondisi intoleransi sudah sangat banyak terkait dengan berkembangnya ujaran kebencian, berita bohong, dan lainnya.
”Kondisi di Jawa Tengah meski terkesan adem ayem, namun potensi-potensi kekerasan juga ada. Beberapa penelitian menunjukkan Jawa Tengah sebagai 5 besar dengan skor toleransinya rendah. Ada banyak kasus intoleransi, paham radikal dan ekstrimisme. Tiga daerah basis atau latihan di Jawa Tengah: Kendal, Temanggung, Karanganyar,” katanya dalam agenda Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme, Rabu (31/3/2021).
Data terbaru dari LIPI dinamika intoleransi menunjukkan peningkatan. Solo-Raya pasca’98 menjadi pusat intoleransi. Dulu kelompok penekan dari preman tapi sekarang kelompok berbasis agama. Dia menjelaskan jika ikhtiar telah dilakukan diantaranya moderasi beragama, sosialisasi Undang-undang anti terorisme, dan Perpres 7/2021 tentang RAN PE. Riset Percik menunjukkan hampir intoleransi dan kekerasan ekstrimisme hampir merata di banyak daerah.
Namun di sisi lain telah ada upaya inisiatif pencegahan kekerasan dan perdamaian banyak dilakukan oleh masyarakat sipil, misalnya yang diinisiasi oleh Kelompok pemuda. FKUB Jawa Tengah juga telah mencoba melakukan inisiatif ini. FKUB di kabupaten kota juga diharapkan kreatif dalam menjalankan aktivitasnya.
”Ada beberapa daerah di Jawa Tengah sebagai kota toleran. Salatiga, Solo misalnya sebagai 10 besar kota toleran. Ada beberapa daerah yang dulunya sumbu pendek menjadi sumbu panjang : Pekalongan dan Rembang misalnya,” terangnya.
Diungkap olehnya, Wonosobo saat Bupati Kholiq giat mempromosian toleransi. Ada inisiatif dari beberapa kalangan yang dilakukan juga oleh anak muda. Solo- Raya di wilayah Kawasan Mojosemar – Pasar Kliwon disamping mendapat pengaruh ekstrimis kini masyarakat juga berupaya mengubah wajah sarang ekstrimis. Bahrun Naim itu berasal dari Sangkrah, Pasar Kliwon – Surakarta.
Di tempat yang sama, Direktur AMAN Indonesia, Ruby Kholifah mengungkapkan, makna RAN PE bagi masyarakat sipil dan perempuan ada tiga hal. Hal pertama, RAN PE merupakan pendekatan lunak. Aktor-aktor non tradisional. Hal kedua, dokumen yang menegaskan PUG dan kemampuan perempuan dalam pencegahan penanganan VE. Terakhir, menjaga civic space.
”Negara memberikan jaminan ruang untuk masyarakat sipil. Proses inklusif dalam pelaksanaaan RAN PE kita kawal agar bisa terwujud. Pentingnya peran serta masyarakat dan lembaga non permerintah : NGO, masyarakat sipil,” ungkapnya.
Diungkap olehnya, prinsip RAN PE di dalamnya mengandung ada persoalan HAM, supremsasi hukum, persoalan hak anak, dll yang perlu dijaga dan perlu kita kawal. Persoalan pencegahan, deradikalisasi, kontraradikalisasi perlu mendapatkan perhatian. Peran masyarakat sipil sangat penting. Banyak program pemerintah didesain tidak di komunitas.
Misalkan, dalam upaya pencegahan masyarakat sipil mudah membaca perkembangan yang ada di masyarakat. ”Pelibatan masyarakat sipil tidak hanya dukungan moral dan membagi sumber daya dengan masyarakat sipil. Tidak semua donor memberikan dukungan pada masyarakt sipil, oleh karenanya pendanaan bisa dicover oleh pemerintah,” katanya.
Terakhir, Direktur Pencegahan, BNPT RI Brigjen. Pol. Ahmad Nurwakhid, S.E, M.M mengungkapkan, pola radikalisme dan terorisme tidak bisa dilepaskan. ”Ini seperti satu tarikan nafas. Radikalisme adalah paham yang menjiwai aksi terorisme itu sendiri. Penanggulangannya, harus dilakukan secara holistik dari hulu sampai hilir. Kalau dari hilirnya, Densus 88 berperan di sana; lalu hulunya adalah pencegahannya antara lain BNPT,” ungkapnya.
Pencegahan radikalisme dan terorisme bisa mulai dengan mengenal polanya. Radikalisme dan terorisme yang mengatanasnamakan agama, bukan monopoli satu agama bahkan bisa melekat pada setiap individu manusia apapun latar belakang dan level intelektualnya. Radikalisme ini, katanya, seperti virus politik dan spiritual yang mengarah pada pelemahan ketahanan nasional dengan cara-cara yang inkonstitusional. Gerakan itu memanipulasi agama yang bergabung dengan kekuatan politik; dan mengedapankan ritual keagamaan. Akar masalah radikalisme dan terorisme adalah ideologi yang mengalami distorsi.
”Dengan pendekatan ilmu kriminologi. Ideologi radikal dan terorisme ada kalau didorong dengan niat dan kesempatan. Setiap manusia punya potensi jahat atau potensi radikal,” ucapnya.
Dan sejatinya radikalisme dan terorisme ini adalah extraordinary crime / crime against humanity / serious crime. Motif tadi akan terwujud jika didorong faktor correlative criminogen. Dan faktor yang paling dominan adalah politisasi agama. Ada manipulasi terhadap ayat-ayat untuk menjustifikasi sesuatu. Faktor pemantik lainnya adalah pemahaman agama yang menyimpang.