31.6 C
Jakarta
Kamis, 12 Desember 2024

Pasukan Inong Balee: Di Garis Depan saat Pertempuran, Dipinggirkan saat Proses Perdamaian

Tidak banyak pahlawan perempuan nasional yang diceritakan dalam buku sejarah dan fotonya ditempel di dinding-dinding sekolah. Selain R. A. Kartini yang dikenal melalui jasanya memperjuangkan emansipasi perempuan, saya pikir Cut Nyak Dhien menjadi pahlawan perempuan kedua yang menempel di ingatan kita atas jasanya sebagai “pejuang perempuan” yang berada di garis depan pertempuran.

Cut Nyak Dhien digambarkan sebagai perempuan tangguh yang ikut mengangkat senjata dan melakukan gerilya di hutan-hutan pedalaman Aceh. Ia bahkan memimpin pasukan kecil dan terus bertempur hingga akhirnya ditangkap dan diasingkan hingga akhir hayatnya. Cerita tentang Cut Nyak Dhien menjadi sangat memikat karena ia adalah seorang ‘kombatan’ perempuan sungguhan. Apa yang dilakukannya mematahkan pandangan bahwa perempuan tidak mungkin bisa berperang karena perang membutuhkan kekuatan fisik dan rasionalitas yang selalu dianggap hanya dimiliki laki-laki.

Puluhan tahun setelah kematiannya, di tempat kelahirannya, Aceh, ribuan perempuan lain mengambil peran yang sama—kombatan perempuan—dengan Cut Nyak Dhien. Para perempuan ini menyebut diri sebagai Inong Balee. Yang membedakan Cut Nyak Dhien dengan perempuan Inong Balee adalah, Inong Balee tidak dianggap pahlawan, melainkan pemberontak karena perjuangan mereka bukan perjuangan terhadap penjajah, tetapi terhadap pemerintah Indonesia.

Inong Balee adalah sayap perempuan dari kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Meskipun nama Inong Balee memiliki arti “janda-janda para pejuang lelaki GAM” (inong dalam Bahasa Aceh adalah perempuan, dan balee adalah janda), banyak anggota Inong Balee adalah perempuan lajang berusia muda yang bergabung atas kesadaran diri mereka sendiri untuk menuntut hak-hak bangsa Aceh yang tidak terpenuhi oleh pemerintah pusat.

Ketika Aceh menjadi daerah operasi militer (DOM) pada 2003, kekerasan yang dilakukan oleh militer menjadi salah satu penyulut perempuan terlibat dalam kelompok kekerasan. Salah seorang anggota Inong Balee dalam acara WGWC Talk yang mengangkat tema Membaca Potensi Radikalisme di Aceh: Inong Balee Bicara Keadilan Transisi yang Berjalan Lambat Selasa, 30 Maret 2020 mengatakan bahwa alasannya bergabung menjadi anggota adalah karena ia melihat keluarganya terbunuh dan disiksa oleh tentara. Kedukaan dan rasa marah akan keadaan inilah yang membuatnya memutuskan untuk menjadi kombatan.

Sebagai sebuah pasukan, Inong Balee melakukan apa yang dilakukan oleh rekan kombatan laki-laki mereka di GAM. Ikut dalam pelatihan militer, menguasai penggunaan senjata, menjadi penghubung dan pemasok logistik ketika sedang bergerilya, bahkan ada yang mengambil peran sebagai pelatih kombatan laki-laki. Kemampuan dan kesiapsiagaan mereka dalam melakukan perang jelas sangat mumpuni. Oleh karenanya, banyak di antara mereka yang berada di garis depan pertempuran.

Berbagai risiko sebagai kombatan perempuan telah mereka hadapi. Kekerasan berbasis gender seperti perkosaan, hingga pembunuhan telah banyak anggota mereka terima. Yang menyedihkan, ketika keadaan berangsur-angsur membaik, dan konflik ter-de-eskalasi dengan kesepakatan damai Helsinksi, para Inong Balee dilupakan begitu saja. Mereka tidak dilibatkan dalam proses perdamaian dan reintegrasi padahal merekalah kelompok yang babak belur karena konflik yang berangsur-angsur.

Bayangkan, setelah apa yang mereka lewati, tidak ada sama sekali perhatian bahkan kompensasi atas luka fisik-psikis dan beban sosial-ekonomi yang harus mereka tanggung akibat konflik. Dari kesaksian salah seorang Inong Balee, kebanyakan perempuan Inong Balee hidup sulit dan penuh kerentanan karena perekonomian mereka serba terhimpit. Beberapa bahkan terlibat dalam tindakan kriminal seperti menjadi kurir narkoba semata-mata agar bisa menyambung hidup keluarga. Pascakonflik, banyak di antara mereka memang menjadi janda dan harus menanggung kehidupan keluarga akibat suami mereka mati atau hilang di medan pertempuran. Dampaknya, banyak anak mereka yang putus sekolah—dan yang paling parah, terlantar karena sama sekali tidak mendapatkan perhatian. Hal yang tentu sangat menyakitkan, apalagi jika melihat rekan sesama kombatan mereka di GAM mendapat banyak bantuan dan berbagai upaya pemulihan pascakonflik.

Beginilah memang situasi yang terjadi ketika perempuan sama sekali tidak dilibatkan dalam proses perdamaian. Suara mereka akan hilang begitu saja; dan lagi-lagi mereka akan menjadi kelompok yang paling menderita. Sudah harus menanggung kekerasan dan trauma konflik yang tidak pernah dipulihkan, mereka juga menanggung stigma yang mungkin selamanya akan melekat bahwa mereka adalah “penjahat” yang tidak bisa dipercaya dan sulit diajak bekerja sama.
Apa yang terjadi pada anggota Inong Balee jelas menunjukan bahwa konflik Aceh belum selesai. Hal yang mungkin tidak akan pernah menjadi perhatian jika para perempuan Inong Balee ini tidak menceritakan pengalaman mereka.

Ketika proses perdamaian di Aceh selalu dirujuk sebagai sebuah keberhasilan, yang terjadi di lapangan ternyata tidak demikian. Banyak residu konflik yang berpotensi menghasilkan konflik baru. Dan reintegrasi nyatanya masih jauh dari harapan ketika perempuan ditinggalkan dalam proses perdamaian.

Pemerintah harus segera mengambil tindakan atas apa yang terjadi pada perempuan Inong Balee. Jika mereka terus menerus dibiarkan sendirian, besar kemungkinan mereka menjadi sasaran kelompok radikal di Aceh mengingat mereka punya semua faktor—kedukaan, masalah ekonomi, dan pengalaman di medan tempur—yang bisa dengan mudah dieksploitasi oleh kelompok radikal yang bisa menyebabkan mereka berpotensi kembali menjadi pelaku kekerasan.

Perempuan Inong Balee harus dirangkul, diafirmasi kedukaannya, dan diadvokasi untuk mendapatkan keadilan. Mereka juga butuh didengarkan dan diberdayakan sebagai manusia yang memiliki banyak potensi. Dan yang paling penting, mereka perlu dilibatkan dalam proses rekonsiliasi dan reintegrasi agar perdamaian berkelanjutan di Aceh bukan hanya angan-angan atau sebatas pencitraan, tetapi jadi kenyataan.

TERBARU

Konten Terkait