Nada Fedula tak dapat membendung air matanya saat jurnalis BBC Indonesia mewawancarainya di salah satu tenda pengungsian di Al Howl, Suriah. Nada terpaksa mengubur mimpinya menjadi seorang dokter ketika sang ayah membawanya ke Suriah untuk hidup di bawah ISIS. Alih-alih mendapatkan kebahagiaan surgawi di dunia, keluarga Nada menghadapi nasib terkatung-katung di negeri asing setelah benteng pertahanan terakhir ISIS digempur oleh pasukan gabungan internasional pada akhir 2018. Nada terisak, memohon belas kasihan pemerintah Indonesia untuk membawanya pulang ke Indonesia. Namun, ketok palu pemerintah pada awal 2020 menyatakan bahwa repatriasi WNI di Suriah hanya akan dilakukan pada anak-anak di bawah 10 tahun yang berstatus yatim piatu; mengikis harapannya. Nada yang sudah beranjak dewasa tentu tak masuk kategori warga yang akan dipulangkan.
Bersama Nada, ribuan gadis remaja di tenda-tenda pengungsian yang terserak di Al Howl dan Al Roj menghadapi ancaman keamanan yang tidak dihadapi oleh orang dewasa dan anak-anak. Penelitian Katrina Lee-Koo dan Eleanor Gordon (2020) menunjukkan bahwa remaja perempuan rentan terhadap berbagai ancaman keamanan khusus yang muncul akibat situasi konflik. Remaja perempuan menghadapi kekerasan fisik, seksual, emosional dan verbal oleh pihak luar maupun oleh anggota keluarga sendiri. Selain itu, mereka seringkali dipaksa menjalani pernikahan dini untuk mendapatkan jaminan perlindungan keamanan dan sumber daya ekonomi untuk seluruh anggota keluarganya. Rendahnya otoritas remaja perempuan untuk memutuskan nasib sendiri membuat mereka lebih berisiko menghadapi berbagai bentuk kekerasan tersebut.
Hasil penelitian Gina Vale (2019) menunjukkan bahwa penerapan hukum syariah yang ketat di pengungsian menjadi sumber ancaman keamanan bagi semua penghuni pengungsian, terutama para perempuan belia. Brigade Al-Khansa, salah satu cabang paramiliter ISIS yang semua anggotanya adalah perempuan, berperan sebagai penegak hukum yang kerap berlaku kejam kepada para remaja perempuan yang dianggap melanggar gambaran perempuan ideal sebagai simbol kesucian, kemurnian dan kesopanan. Brigade Al-Khansa tak segan melakukan penyiksaan pada para penghuni pengungsian dengan memukuli, mencambuk dan merajam mereka yang menolak mengikuti hukum Syariah yang diberlakukan di pengungsian. Selain itu, sebagaimana diberitakan oleh The Guardian pada 2019, seorang wanita Azerbaijan mencekik cucunya yang berusia 14 tahun sampai mati karena menolak mengenakan niqab di luar tendanya. Hal ini menjadi gambaran bahwa gadis remaja tak hanya menghadapi ancaman kekerasan karena mereka perempuan, tetapi juga karena kondisi fisiologis dan psikologis mereka yang masih belum sepenuhnya matang sehingga seringkali berbenturan dengan norma-norma gender konservatif yang dipegang oleh para pendukung ISIS.
Ketidakmampuan orang tua untuk memberikan jaminan perlindungan keamanan dan menyediakan penghidupan yang layak di pengungsian menyebabkan perempuan muda rentan mengalami pernikahan dini. Gadis-gadis remaja dipaksa menikah dengan pria dewasa untuk bertahan hidup dari kerasnya kehidupan di dalam pengungsian. Pernikahan ini diatur oleh orang tua, mereka menentukan kapan dan dengan siapa anak gadisnya harus menikah. Hal ini karena masih adanya anggapan bahwa perempuan muda adalah objek yang dapat memutuskan nasibnya sendiri, melainkan objek atau aset yang dapat “diperjualbelikan” ketika kondisi keluarga sudah terjepit.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk tidak merepatriasi semua orang dewasa mungkin sudah dipertimbangkan dengan matang oleh semua pemangku kepentingan, namun sudahkah mereka memperhatikan ancaman keamanan yang khusus dihadapi oleh remaja perempuan? Ideologi ISIS yang terus menyala dan kekerasan fisik maupun pernikahan paksa di pengungsian terus mengintai para remaja perempuan seperti Nada Fedulla, yang tak bisa berkata tidak saat ayahnya membawanya ke Suriah. Tidak seharusnya dia dan ribuan gadis sepertinya membayar kesalahan yang dilakukan oleh ayahnya.