Perempuan yang terlibat tindak kekerasan ekstremisme mayoritas berstatus sebagai istri pelaku yang hanya menjadi korban doktrin suaminya. Studi Musdah Mulia dalam “Bahaya Radikalisme dan Kekerasan Ektrismisme (sic!)” menyebut sebagian besar istri napiter tidak mengetahui bahwa apa yang telah mereka lakukan –atas perintah suaminya– merupakan bentuk bantuan untuk kelompok teroris. Mereka juga mengalami viktimisasi mulai dari proses penangkapan sampai setelah bebas dari lapas. Hal itu membuat mereka teralienasi dari keluarga, terkucilkan, rentan, dan tidak mampu menghidupi dirinya secara finansial karena status mereka sebagai “janda teroris”. Jika dibiarkan, perempuan penyintas tersebut bisa terlibat kembali dalam ekstremisme kekerasan sebab mereka tidak mendapatkan dukungan untuk hidup normal dan menjadi warga negara yang baik. Oleh karenanya perlu ada keterlibatan masyarakat untuk mencegah kembalinya mereka pada lingkaran ekstremisme.
Seseorang akan mendukung bahkan membantu orang lain dengan sukarela ketika mampu berempati. Begitu pula pada kondisi perempuan penyintas, dibutuhkan adanya empati terhadap mereka. Asih dan Pratiwi (2010) menjelaskan, “Empati merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk mengerti dan menghargai perasaan orang lain dengan cara memahami perasaan dan emosi orang lain serta memandang situasi dari sudut pandang orang lain.” Namun, bagaimana bisa berempati, jika kesempatan mengenal mereka sangat minim? Untuk mewujudkan hal tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah guna menumbuhkan empati terhadap perempuan penyintas ekstremisme kekerasan.

Pertama, stakeholder terkait perlu memberikan pemahaman pada masyarakat bahwa para perempuan penyintas yang dibebaskan telah lepas dari tuduhan terkait terorisme. Misalnya dari pihak lapas melakukan pendampingan dan penjelasan pada RT RW setempat, diharapkan dari pihak RT RW bisa memberikan teladan pada warganya untuk bersilaturahmi ke rumah mereka secara proaktif; sehingga membantu memberikan pembanding opini negatif di lingkungan sekitar. Kedua, dengan melibatkan perempuan penyintas dalam program-program RT, sehingga mereka berkesempatan saling bersilaturahmi. Ketiga, dengan pendekatan dakwah, yaitu keterlibatan para dai setempat untuk mengubah mindset warga sekitar agar lebih mengedepankan empati daripada alienasi apalagi bullying. Hal ini tentunya perlu disertai pembekalan lebih lanjut terhadap para dai yang dilibatkan.