28.6 C
Jakarta
Senin, 9 September 2024

Agar Perempuan tak Jadi Korban Terorisme

Salah satu hal paling menyeramkan dari tindak kejahatan terorisme adalah pemilihan korban yang selalu digambarkan secara acak. Kita bisa saja menjadi korban bom ketika sedang liburan santai di pantai, ngopi-ngopi dan makan di ka ef si, atau bahkan ketika sedang boker di toilet kantor. Iya, se-random ituuu (ngomong itunya sambil monyong-monyong).
Pikiran bahwa kita bisa menjadi korban teroris hanya karena kita berada di waktu dan tempat yang keliru ini yang membuat ketakutan terhadap serangan teroris menjadi ketakutan level psikologis. Di mana pun, dan kapan pun, kita dibuat merasa tidak aman, karena siapa yang tahu kalau kita korban selanjutnya? Saran saya sih sering-sering aja melakukan taubattan-nasuha buat jaga-jaga /heh.
Tapi, iyakah serangan teroris se-random itu? Kalau emang iya, gini kali yak isi otak mereka kalo diilustrasikan: “Sore-sore gini enaknya ngebom di mana, yaaa?”

TAPI YA MANA ADAAA.

Dari pembacaan saya, serangan teroris ternyata nggak se-bercanda itu. Sebelum melakukan aksi, teroris memperhitungkan sasaran mereka dengan sangat teliti, menghitung sumber daya yang mereka miliki, dan tentu saja memperkirakan potensi keberhasilan serangan yang akan terjadi.
Nggak ada serangan teroris yang ujug-ujug terjadi tanpa perencanaan matang sebelumnya. Nggak ada ceritanya teroris pagi-pagi bikin rencana, sore udah eksekusi. Mereka selalu butuh waktu untuk melakukan pengamatan, mencari celah secara perlahan, menggambar pola dan detail di tempat sasaran, terakhir, baru deh bikin strategi penyerangan. Dan ini semua prosesnya bisa dilakukan sampai bertahun-tahun karena teroris tahu betul bahwa serangan besar yang berhasil dilakukan membutuhkan waktu yang tepat dan kesabaran. Asal kalian tahu ya, mereka tuh sangat penuh pertimbangan—nggak kayak kamu yang baru PDKT sebulan, tapi udah nggak sabar pengin jadian hiii.
Artinya, serangan terorisme itu ya nggak acak-acak amat. Mereka punya sasaran yang jelas, dan sebenarnya ya bisa dipetakan siapa/tempat apa saja yang potensial untuk dijadikan sasaran aksi teroris. Termasuk bisa juga kita memprediksi siapa saja potensial korban yang sedang tidak beruntung karena berada di tempat kejadian ketika terjadi serangan. Nah, karena masih potensial korban, artinya kita bisa mencegah mereka untuk jadi korban betulan.
Dalam sebuah jurnal yang berjudul Terrorism and Political Violence Victimization from Terrorist Attacks: Randomness or Routine Activities? yang digarap oleh Daphna Canetti, Ami Pedahzur, Gustavo Mesch, disebutkan bahwa risiko menjadi korban terorisme dirasakan oleh semua orang adalah pandangan yang keliru. Kenyataannya sebagian orang punya risiko yang lebih besar untuk menjadi korban teroris dibandingkan dengan sebagian yang lain. Dan tingkat kerentanan seseorang untuk menjadi korban ini dipengaruhi oleh gaya hidup dan faktor sosioekonomi seseorang.
Mereka mengajukan dua teori yang bernama Lifestyle-Exposure theory dan Routine Activity Theory untuk menjelaskan hal tersebut.
Gini katanya, lifestyle seseorang nyatanya berpengaruh untuk menyelamatkan/membahayakan dia dari kejahatan. Misal nih, orang yang kaya yang sehari-hari pergi-pergi naik mobil, bakal lebih sedikit berpotensi jadi korban aksi bom di yang terjadi di tempat-tempat transportasi publik. Di masa pandemi, orang kismin yang sering berada di luar rumah, bakal lebih berpotensi jadi korban bom dibandingkan dengan orang kaya/kelas menengah yang kerja di rumah.
Selain gaya hidup, kelompok minoritas juga lebih rentan jadi korban kejahatan lho. Oh iya, tempat tinggal berpengaruh juga, kalau kamu tinggal di pelosok-pelosok desa—itu pun masih notok ke sebelah sananya, kamu bakal lebih aman dibandingkan dengan orang-orang di kota karena kelompok teroris lebih banyak melakukan aksi di kota yang notabene bakal lebih banyak ngasih keuntungan buat mereka—korban yang lebih banyak, dan pemberitaan yang edan-edanan buat nakut-nakutin kita (hah, kita??) orang biasa yang bukan korban.
Nah, Routine activity theory sendiri ngomongin soal pepatahnya Bang Napi, “Kejahatan terjadi bukan hanya karena ada niat pelakunya, tetapi juga karena adanya kesempatan.” Kesempatan yang dimaksud adalah keadaan yang memungkinkan teroris melakukan kejahatan, misal penjagaan yang nggak ketat dan asal-asalan. Atau simply human error kayak satpam yang kecapekan lalu ketiduran.
Hal yang bikin saya ngeri-ngeri sedap ketika baca jurnal ini adalah, temuan mereka pas memetakan kelompok sosial dengan gaya hidup mana yang paling paling paling rentan jadi korban serangan terorisme, dan jawabannya, tidak lain tidak bukan, adalah perempuan. Lebih spesifik lagi, perempuan muda, yang banyak melakukan aktivitas di luar ruangan.
Alamak, sudah rentan jadi korban cat calling, pelecehan seksual, pencopetan, penjambretan ini ditambah lagi rentan jadi korban terorisme! Nasib jadi perempuan emang…
Tetap tenang, Sistur. Temuan ini bukan berarti nyuruh perempuan buat diem di rumah aja. Kita bisa mencegah potensi diri kita menjadi korban terorisme tentunya dengan mengubah situasi yang memungkinkan kelompok teror melakukan aksi.
Sedikit panduan dari saya yang bisa sistur-sistur lakukan adalah:
Pertama, memastikan semua orang memahami bahwa perempuan adalah kelompok paling rentan menjadi korban serangan bom dengan membagikan tulisan ini. Ketika orang-orang sudah paham, secara otomatis akan muncul senses of urgency untuk memberikan perlindungan dan penjagaan-penjagaan tambahan di tempat-tempat yang dianggap potensial menjadi sasaran target terorisme—yang setiap harinya kamu beraktivitas di sana.
Kedua, kamu juga bisa lho melakukan advokasi atau memberikan tekanan di tempat kerjamu jika tempat kerjamu terlihat ogah-ogahan dalam hal melakukan pengamanan. Misal, Satpam tempat kamu bekerja ternyata sudah tua, atau bekerja dalam waktu yang terlalu lama kayak 12 jam per hari, mana kasian gajinya juga kecil padahal Satpam adalah orang terpenting pertama yang melakukan pengamanan. Kamu bisa jelasin ke kantor kamu bahayanya kalau beliau kelelahan, karena jika demikian, boro-boro bisa nyegah teroris nyimpen bom, ngejar maling aja pasti udah kewalahan.
Ketiga, kamu juga bisa mencegah dirimu menjadi korban dengan memastikan lingkungan di sekitarmu tinggal/bekerja adalah lingkungan yang nyaman, aman, dan minim perselisihan. Biasanya perempuan jago banget nih melakukan kerja-kerja reproduksi sosial yang bikin tempat di sekitarnya jadi rukun, dan guyub sehingga orang-orang nggak punya alasan untuk melakukan kejahatan.
Keempat, sering-sering berbuat baik terhadap sesama karena kita kadang nggak tahu tahu siapa orang yang kita temui sebenarnya. Selalu ada kemungkinan kita bertemu dengan teroris, tapi karena melihat kebaikan hati kita, mereka bisa jadi berubah pikiran untuk ngebom tempat kerja kita.
Kelima, sebagai sesama perempuan, kita harus saling bantu dan saling jaga karena dunia luar nyatanya emang berbahaya.
Terakhir, dahlah, berdoa biar cepet kaya aja. Biar ke mana-mana bisa naik mobil, dan punya pengawal pribadi yang memastikan keamanan kita di mana pun kita berada.

TERBARU

Konten Terkait