Saya kira semua orang punya bayangan serupa ketika membicarakan tentang siapa itu teroris. Setidaknya, saya berani jamin sosok pertama yang muncul di pikiran kita adalah bayangan tentang seorang laki-laki dengan senjata dan bom di tangannya. Tapi emang iya teroris itu ‘cuma’ kayak gitu?
Ngomongin siapa itu teroris aslinya tentu nggak sederhana. FYI aja, nih, bayangan kita soal teroris—bahwa dia laki-laki bersenjata dan membawa bom itu terlalu old school, hanya relevan di tahun 2000-an awal. Alias sudah nggak jaman karena sekarang ada banyak teroris perempuan, dan ada juga teroris yang nggak bawa senjata. Serius, deh. Ada tukang mi ayam yang dijerat dengan tindak pidana terorisme karena dia jualan mi ayam ke polisi…
…Mi ayamnya udah dikasih racun tapi, hehe.
Like, Hey! nyerang orang pake AK47 sudah terlalu kentara, baru mau angkat senjata aja keburu dipiting sama polisi dan tentara. Ini pake mi ayam, Bos. Siapa orang di dunia ini yang berpikir bahwa habis makan, dia bisa langsung dimakamkan? Sebuah ‘senjata’ yang jelas sangat tidak terduga.
Kalau kata pepatah (nggak tahu pepatah tuh siapa, deh?) penjahat selalu lebih pintar dari polisi. Dan saya pikir hal itu yang selalu terjadi dalam kasus terorisme. Pas awal perempuan jadi pelaku teror di Indonesia, misalnya, kita semua geger karena nggak nyangka kalo perempuan bisa jadi pelaku kejahatan. Padahal kan kalo emang mau objektif, kejahatan itu jelas-jelas nggak punya gender.
Buktinya nggak usah jauh-jauh, kita ambil contoh ‘kejahatan’ terdekat yang saya pikir banyak orang jadi korbannya. Kalian sadar nggak sih kalo banyak perempuan yang jadi pelaku ‘ghosting’, bahkan dicap sebagai ‘buaya betina’ karena kerjaannya bilang nyaman padahal cuma nganggap teman dalam hubungan? banyak, kan? Tapi karena nggak banyak dibicarakan, jadinya pihak yang dianggap jahat—tukang ghosting dan PHP— seringnya cuma laki-laki.
(Laki-laki yang baca ini pasti pada teriak THE TRUTH HAS BEEN SPOKEN, hihihi).
Begitu juga dalam kasus terorisme. Para teroris tuh tahu kalo perempuan punya daya, upaya, tenaga, dan keinginan untuk melakukan perlawanan. Mereka juga punya kedukaan, rasa frustrasi, dan keinginan untuk mengambil peran dari sekadar cuma dianggap ikut-ikutan. Dan, lagi-lagi kalau kita mau objektif, bukan hanya para teroris yang tahu hal itu. Kita semua juga harusnya tahu karena sejarah sudah menunjukan bahwa perempuan punya peran signifikan dalam berbagai hal.
Jadi pahlawan? banyak. Jadi penjahat? ya banyak juga. Banyak organisasi teroris di luar negeri kayak Tiger Tamil di Srilanka, Black Widow di Chechnya, Brigade Martyr Al-Aqsa di Palestina sampe Irish Republican Army di Irlandia punya kombatan perempuan. Di kelompok-kelompok revolusioner kiri kayak FARC di Kolombia, perempuan malah jadi pemimpin kelompok mereka. Ya betuuul. Perempuan juga bisa jadi bosnya orang jahat!
Terus kenapa dong kita selalu kalah langkah sama teroris?
Ya beginilah, Bun, kalo tidak pernah belajar dari sejarah sembari terus menerus membicarakan hal-hal yang sama ketika bicara tentang terorisme. Bahwa mereka laki-laki, bahwa mereka membawa senjata, dan hal lain yang juga sekarang sedang kita abaikan, bahwa teroris tidak hanya menyerang simbol-simbol negara dan hanya pengin mendirikan negara…
Kalian tahu nggak ada yang namanya ‘incel’ movement? Pasti nggak tahu, kan?
Incel atau involuntarily celibate kalau ngutip BBC, dalam beritanya yang berjudul Teenage boy charged in Canada’s first ‘incel’ terror case dijelaskan sebagai:
“Online groups of men who feel they are unable to enter into sexual relationships. They blame women for their grievances, which they discuss in internet forums.”
Biar nggak ada yang komen “nggak bisa basa enggres” saya alih bahasakan kayak gini:
Incel atau involuntarily celibate kalau ngintip di Google Translate diartikan secara literal jadi “tanpa sadar membujang”, kata BBC, mereka adalah para lelaki di grup online yang mikir kalo mereka nggak bisa punya hubungan seksual gara-gara perempuan nggak mau sama mereka. Nah Incel ini kalau dikasih konteks ke-Indonesia-an, biasa kita sebut sebagai bujang lapuk. Lol.
Para bujang lapuk di internet ini pingin punya hubungan sama perempuan, tapi inkompetensi mereka dalam menarik hati perempuan malah bikin mereka bitter alias pahit sama perempuan. Dari apa yang saya baca, mereka nyalahin para perempuan yang dianggap punya standar terlalu tinggi, lebih suka bad boy, lah, dan ‘cuma gampangan’ kalo ke laki-laki ganteng. Dari sini saya sudah bisa tahu bahwa para bujang lapuk ini pancen nggak tahu diri memang.
Para laki-laki yang terlibat dalam incel movement ini akhirnya bukan hanya menjadi antifeminist-feminist club tapi jadi sangat misoginis. Yang bahaya, di luar negeri, para bujang lapuk ini udah beberapa kali melakukan serangan mulai dari bunuh perempuan yang mereka kenal di online dating tapi pas diajak kencan nggak mau diajak ngamar, sampe ada juga yang melakukan penembakan massal kayak yang terjadi di Hanau, Jerman yang menewaskan 9 orang dan melukai lebih banyak lagi.
Apa yang para bujang lapuk ini lakukan jelas-jelas aksi terorisme dengan ideologi misoginis dan supremasi laki-laki yang targetnya secara spesifik adalah perempuan. Sayangnya, tidak ada sama sekali pembicaraan, atau bahkan perhatian untuk melabeli aksi ini sebagai terorisme. Padahal kalau lihat di Indonesia ya, meskipun bukan dilakukan oleh bujang lapuk, femisida, atau pembunuhan terhadap perempuan, bukan aksi yang sekali atau dua kali terjadi, coba deh kalian googling sendiri ada berapa banyak berita tentang pembunuhan dengan korban perempuan di Indonesia. Banyak. Banget.
Sayangnya, kalau lihat diskursus (ampun berat banget diskursus) alias pembicaraan-pembicaraan tentang terorisme hari ini, dan mungkin bertahun-tahun ke depan, entah sampai kapan incel atau kejahatan femisida lain bakal dikategorikan sebagai terorisme. Gimana ya, Bun, sampai sekarang, masih nggak ada tanda-tanda kita bakal punya pembicaraan kalau teroris itu bukan cuma laki-laki, nggak selalu bawa senjata, dan nggak melulu ditujukan pada negara. Cry sekebon