Jakarta – Generasi muda yang notabene masih dalam proses pencarian jati diri dan kepribadian rentan terpapar ekstremisme atas nama agama. Menyikapi hal itu, Direktur Eksekutif AIDA, Riri Khariroh, mengajak para aktivis mahasiswa terlibat aktif menangkal infiltrasi ideologi ekstrem yang menyasar pemuda dan insan perguruan tinggi.
“Kalau kita lihat realitas di Indonesia, gerakan ekstremisme ini dilakukan oleh mereka yang masih berusia muda. Ada yang SMA, ada juga yang mahasiswa. Ini semua miris, sehingga kita semua harus peduli. Tidak boleh membiarkan anak muda kita terjerumus pada kekerasan yang merugikan diri sendiri, agama, bangsa dan negara,” kata Riri saat memberi sambutan dalam Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa, yang digelar AIDA secara daring pada Selasa (16/3/2021).
Menurut Riri, paham dan gerakan ekstrem juga menyebar di media sosial. Karena itu melalui kegiatan ini ia berharap gerakan mahasiswa makin solid dalam membangun lingkungan perguruan tinggi yang damai dan turut aktif menangkal narasi-narasi kekerasan di media sosial.
“Semoga kegiatan ini akan meningkatkan kesadaran pentingnya perdamaian di Indonesia dan membentuk kesadaran kita dalam menyuburkan nilai-nilai cinta damai di lingkungan sekitar. Tidak mudah terpropaganda oleh sesuatu yang berseliweran di sana-sini terutama di medsos (media sosial: Red), sehingga penerus bangsa tidak terjebak dalam aksi ekstremisme,” tutur aktivis perempuan itu.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari ini menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya dua orang penyintas terorisme, yaitu Budijono, korban penyerangan di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman, Yogyakarta tahun 2018, dan Andi Dina Noviana Rivani, Korban Bom Thamrin tahun 2016. Keduanya berbagi kisah tentang peristiwa teror yang menimpa mereka sekaligus menceritakan dampak destruktif kekerasan terorisme terhadap kehidupan mereka.
Budijono mengungkapkan, ketika penyerangan terjadi ia tengah berada di luar gereja untuk mengikuti Misa. Namun tanpa dinyana, seseorang mengeluarkan senjata tajam dari jaket dan membacok kepala dan tangannya. Akibat serangan itu, Budijono harus menjalani operasi dan mendapatkan puluhan jahitan. Ia merasa beruntung karena selamat dari kematian.
“Ada mukjizat yang mengantarkan saya selamat. Kata dokter, kalau terkena sayatan 1 sentimeter lagi akan terkena saraf utama dan bisa meninggal,” ujarnya.
Sementara Dina mengisahkan peristiwa Bom Thamrin sebagai memori kelam yang membuat kehidupannya berada di titik nadir. Ia mengaku tiga bulan tak pernah bisa tidur. Trauma luar biasa dirasakannya. “Setiap mau coba tidur, selalu ketarik dengan kejadian saat itu. Ketika terbayang kejadiannya, badan dan kepala saya rasanya panas. Yang ada saya panik, teriak, menangis, dan pusing,” ungkapnya.
Kegiatan diikuti oleh puluhan mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Purwokerto dan sekitarnya, yaitu Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, IAIN Purwokerto, Institut Ilmu Al-Qurán An-Nur Yogyakarta, Institut Teknologi Telkom Purwokerto, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto, dan Universitas Peradaban Bumiayu Brebes. [AH]
Sumber : https://www.aida.or.id/2021/03/8406/mencegah-pemuda-terjerumus-ekstremisme