Diskusi WGWC Talk #10 menghadirkan dua orang polisi perempuan dari densus 88 dengan Penanggap Margaretha Hanita dari Universitas Indonesia dan Hamli yang merupakan pengamat Terorisme yang dimoderatori oleh Mira Kusumarini sebagai Direkttur Yayasan Empatiku. Agenda ini dilaksanakan pada Kamis (17 September 2020) pada pukul 15.00 – 17.00 WIB melalui zoom.
Pada agenda kali ini mengambil tema Perempuan dalam sektor keamanan. Saat ini, perempuan sebagai pelaku ekstremisme bukan hanya di belakang layar, tetapi juga sudah berubah perannya yang lebih strategis. Sehingga, dibutuhkan lebih banyak lagi sektor penegakan hukum yang bisa bekrja di berbagai lini. Karena, persuasi women to women lebih efektif dibandingkan women to men. Jadi ini dimensi baru yang kemudian menjadi strategis dicermati, seberapa jauh peran perempuan yang terlibat dalam aksi terorisme.
Berdasarkan penuturan dua narasumber tersebut, pada 2004 perempuan yang bekerja di Densus 88 hanya 2 orang. Namun, semakin banyaknya perempuan sebagai pelaku ekstremisme sehingga perempuan yang bekerja di densus 88 semakin banyak. Begitu juga dengan densus 88 memperbanyak petugas perempuan di densus 88. Kedua, narasumber tidak pernah membayangkan jika harus bekerja di densus 88. Walaupun begitu keduanya terus berusaha memberikan yang terbaik.
Diakui oleh keduanya, jika tantangan untuk bekerja densus cukup banyak. Bahkan, keduanya pun sempat mendapatkan ancaman jiwa ketika berhadapan dengan para pelaku terorisme. Hal tersebut, tidak menyurutkan kegigihan mereka untuk bekerja di sektor ini. Begitu juga dengan pengaman ketika bekerja terus ditingkatkan untuk keduanya.
Selama bekerja, keduanya banyak bertugas untuk memberikan wajah kepolisian yang lebih humanis dengan mengedapankan karakterisme yang dimiliki oleh perempuan. Hal tersebut berdampak sangat baik kepada pendekatan kepada napiter yang lebih baik. Di sisi lain, kesabaran keduanya menjadi aspek yang sangat penting ketika berhadapan dengan para napiter.
Sedangkan menurut penanggap, berdasarkan gambaran dari kedua narasumber, Margaretha Hanita menegaskan para polwan tersebut telah memiliki kompotensi dan harus diberikan kesempatan. Tantangan di Indonesia, pengakuan atas kemampuan perempuan yang harus didorong. Hal ini sangat berbeda dengan pengalaman di negara lainnya, di mana ada banyak perempuan yang menjadi pengambil keputusan yang sangat penting di sektor keamanan.
Untuk itu, jumlah perempuan di sektor keamanan harus diperbanyak. Saat ini sangat tepat jika kasus terorisme lebih banyak ditangani oleh polwan. Selama ini, di sektor keamanan belum mendapatkan afirmatif action, hal ini berbeda dengan perempuan dalam politik yang sudah memiliki afirmatif action yang sudah mencapai 30 persen. Di sektor keamanan sangat berbeda, harus sangat profesional dan canggih. Serta kemampuan menjadi modal utama untuk para perempuan bersaing bekerja di sektor keamanan.
Sedangkan menurut Hamli, Pada 2015 ISIS memproklamirkan, dan pada saat itu komposisinya polisi laki-laki dan polwan masih kurang. Hal itu yang membuat densus 88 meminta untuk menambah jumlah Polwan. Dulu densus dibentuk satgas bom. 2003 dibentuk densus 88, tidaak melihat komposisinya hanya melihat kompetensinya seperti apa. Namun lambat laun, pihak kepolisian merasakan perempuan pelaku semakin banyak. Bagaimana kaitan dengan keluarga, di densus beberapa tahun yang lalu istri-istrinya sering mengeluh ditinggalkan.
Di sisi lain, budaya peluang berkarir disektor keamanan menuntut dukungan keluarga, pekerjaan mereka sangat menantang. Di mana budaya Indonesia, perempuan belum dilihat seimbang. Saat ini, perempuan sudah memiliki keterampilan untuk menghadapi napiter perempuan untuk penegakan hukum yang humanis yang membutuhkan kemampuan mendengarkan yang banyak dimiliki perempuan. Sehingga, ke depan merekrut perempuan lebih strategis untuk peluang ke depan.