AIDA Gelar Dialog Siswa SMAN 6 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Aliansi Indonesia Damai – Puluhan siswa SMAN 6 Surakarta berkumpul secara virtual untuk mengikuti Dialog Interaktif: Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh yang digelar AIDA secara daring pada Selasa (19/01/2021). Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah Sumarno, mantan pelaku ekstremisme kekerasan.

Sumarno berkisah tentang awal keterlibatannya dalam kelompok ekstremisme kekerasan dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Ia memasok senjata dan amunisi saat konflik komunal di Poso dan Ambon meletus pada tahun 1999-2000, hingga kemudian tertangkap dan harus menjalani hukuman penjara. Saat mendekam di Lapas itulah Sumarno mulai merenungi aksi-aksinya. Secara perlahan ia mantap meninggalkan kelompok ekstremisme secara total.

AIDA Gelar Dialog Siswa SMAN 6 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Setelah mendengar paparan Sumarno, salah satu siswa bertanya tentang ciri-ciri orang yang sudah terdoktrin serta bagaimana cara menghindarinya. Menanggapi itu, Sumarno menjelaskan bahwa ciri kelompok ekstrem yang paling dominan adalah sikapnya dalam berinteraksi dengan orang-orang di luar kelompoknya.

“Kalau ada orang yang menganggap orang di luar kelompoknya itu sesat, bahkan kafir atau murtad, maka itu bisa diidentifikasikan bahwa kelompok itu adalah kelompok yang ekstrem, dan harus kita hindari,” ucapnya tegas.

Menurut Sumarno, pemahaman yang meyakini bahwa ajaran lain adalah sesat akan berujung pada sikap semena-mena. Salah satunya adalah dengan menghalalkan harta orang di luar kelompoknya dan menganggap harta tersebut sebagai rampasan (fai’). “Ini sangat berbahaya sekali. Kelompok ini juga harus kita hindari,” ujarnya mengingatkan.

Dalam hematnya, kebanyakan orang yang tergabung dalam kelompok ekstrem adalah mereka yang belum secara penuh memahami spirit beragama. Banyak dari mereka yang hanya mengikuti ajaran dari guru tanpa mengkaji ulang. Sehingga seringkali hanya memahami ayat Al-Qur’an dan hadits secara sepenggal. Mengambil mana yang bisa mendukung ajarannya saja. Sehingga perlu dikembalikan kepada ulama yang sudah mu’tabar.

Seorang siswi lain meminta klarifikasi terkait rumor di masyarakat bahwa anak dari pondok pesantren cenderung akan menjadi anak nakal atau tergabung ke kelompok jihad. Sumarno menegaskan bahwa ajaran ekstremisme tidak didapatkan dari pondok pesantren umum. Ajaran jihad dalam arti perang hanya diajarkan di pondok pesantren tertentu yang memang sengaja menciptakan kader ekstremis.

“Tidak semua pondok pesantren seperti itu. Makanya kembali lagi bahwa pondok pesantren yang berafiliasi kepada kelompok-kelompok ekstrem itu adalah mereka yang para pendidiknya, pemahamannya tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah, termasuk di antaranya adalah mudah mengkafirkan orang lain,” pungkasnya.

Link berita : https://www.aida.or.id/2021/01/8199/dialog-siswa-sman-6-surakarta-dengan-mantan-ekstremis

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Tentang WGWC

Working Group on Women and Preventing/ Countering Violent Extremism (WGWC) merupakan sebuah platform jaringan bagi masyarakat sipil dan pemerintah yang bekerja untuk memperkuat pengarus-utamaan gender (gender maintreaming) dalam policy maupun intervensi penanggulangan radikalisme dan ekstrimisme (terorisme) di Indonesia. Dideklarasikan pada tanggal 24 Juli 2017 di Bogor, WGWC telah menjadi rumah bersama bagi para aktor yang bekerja dalam pengarusutamaan gender dalam pencegahan ekstremisme kekerasan.

Newsletter

Scroll to Top