Tradisi Sadranan, Mengungkap Kerja Perempuan dan Merawat Toleransi

Jakarta – WGWC Talk Seri 31 “Untold and Unheard Stories, Perempuan, Tradisi Sadranan, dan Toleransi: Cerita Desa Cluntang Merawat Keharmonisan Komunitas” dengan mengangkat kerja-kerja yang dilakukan perempuan dalam tradisi budaya sadranan membangun nilai toleransi digelar melalui zoom meeting, Jumat (29 Desember 2023). Agenda yang digelar oleh Spek-HAM bersama Working Group on Women Preventing Countering Violent Extremism (WGWC) dan The Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia dihadiri sebanyak 72 orang dengan jumlah peserta laki-laki mencapai 35 orang dan peserta perempuan mencapai 37 orang.

Tradisi Sadranan di Desa Cluntang melibatkan kelompok minoritas, salah satunya LGBTQ. Dalam empat tahun terakhir, Desa Cluntang menerima transpuan untuk ikut hadir dalam Sadranan. Kelompok minoritas tersebut tidak mendapatkan diskriminasi sedikit pun. Dalam agenda tersebut, terdapat 4 orang narasumber dalam agenda tersebut. Pertama, Winarti sebagai Tokoh Perempuan Desa Cluntang, Kecamatan Musuk, Boyolali. Kedua, Suranto sebagai Pemerintah Desa dan Tokoh Budaya Desa Cluntang, Kecamatan Musuk, Boyolali. Ketiga, Nila Ayu Puspaningrum sebagai pendamping masyarakat desa. Keempat, Masthuriyah Sa’dan sebagai eneliti dan penulis isu-isu keberagaman dan etnologi feminis.

Tradisi Sadranan, Mengungkap Kerja Perempuan dan Merawat Toleransi

Winarti dan Suranto menjelaskan tentang Tradisi Sadranan dan perannya penting yang dilakukan oleh perempuan dalam agenda tersebut. Kemudian, Pendamping Desa Nila Ayu menjelaskan pendampingan yang dilakukan mengajarkan perempuan untuk mengolah sendiri olahan lokal. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan nilai ekonomis hasil pertanian setempat.

”SPK HAM juga memberikan dukungan materiil untuk kelancaran perayaan sadranan. Dukungan materiil ini meliputi bahan makanan, peralatan masak, dan tenaga kerja. Selain itu, SPK HAM juga bekerja sama dengan dinas pariwisata Kabupaten Boyolali untuk mengangkat perayaan sadranan sebagai tradisi yang dapat mempromosikan potensi lokal desa Celuntang,” terangnya.

Narasumber terakhir, Masthuriyah Sa’dan memberikan penegaskan jika tradisi Sadranan memberikan nilai kebindekaan, jadi dalam konteks Indonesia sadranan itu merupakan cermin tentang kebindekaan yang ada di dalam masyarakat Indonesia. Kemudian, penanggap Siti Rofiah dari Pondok Pesantren Al Fallah Salatiga sebagai ulama perempuan juga memberikan kerangka jika tradisi Sadranan tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama.

”Hal-hal yang ada tradisi Sadranan sebenarnya tidak bertentangan dengan nilai agama. Karena di dalamnya terdapat ajaran agama Islam. mulai dari silaturahmi dan menjaga budaya. Apalagi, dalam tradisi Sadranan, perempuan diberikan ruang utama,” ucapnya.

Sosiolog Universitas Sebelas Maret Surakarta, Muhamad Ramdhon mengapresiasi praktik tradisi masyarakat Indonesia yang arif dan luar biasa. Praktik-praktik ini menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai toleransi dan kebersamaan yang kuat. ”Serta menggarisbawahi jika tradisi Sadranan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi,” pungkasnya.

Penulis

Opini

Di sini kita membahas topik terkini tentang perempuan dan upaya bina damai, ingin bergabung dalam diskusi? Kirim opini Anda ke sini!

Scroll to Top