26.1 C
Jakarta
Rabu, 16 Oktober 2024

Hak Keadilan Reproduksi untuk Cegah Kekerasan Seksual

Ber sepuluh dan itu pun sudah intens pembicaraannya karena kami semua membongkar awalnya 12 hak seksualitas dan keadilan reproduksi yang disusun sebagai konsensus dari IPPF yang masih relevan dalam pemberdayaan hak keadilan reproduksi bagi laki dan perempuan dari semua usia dan golongan. Tidak bisa disangkal bahwa konstruksi identitas gender, budaya, tatanan nilai agama memberikan kontribusi terhadap penetapan standar tentang hak keadilan reproduksi itu sendiri. Banyaknya tabu dalam hal keseharian dalam menyebut nama organ reproduksi saja menjadi tantangan tersendiri bagi banyak pihak, terutama keluarga.

Teh Asih⁩ memberikan satu paradigma berpikir mengenai dampak dari konstruksi tadi yang berimbas pada banyak hal yang tampak dinormalisasi sebagai hal yang biasa dilakukan. Seperti, anggota keluarga yang lebih dewasa memegang bagian tubuh tertentu sorang anak atau bagian keluarga yang lebih muda lalu dikatakan sebagai ungkapan kasih sayang, padahal belum tentu yang bersangkutan nyaman dengan hal itu. Lalu, ada cerita dari Arfi⁩ yang menggarisbawahi maskulinitas toksik dalam kasus sekelompok anak laki yang bermain tendang tendangan ke arah selangkangan dan itu memperlihatkan bukti kejantanan mereka.

Clara⁩ juga kemarin berbagi cerita mengenai satu kejadian yang disamarkan dengan kata-kata bahasa yang menimbulkan ketidaktahuan bahkan kebingungan bagi target orang yang dijadikan sasaran kekerasan/pelecehan seksual. Bagaimana setiap perlakuan tersebut akan diingat oleh tubuh (teh Asih⁩) sebagai proses traumatik yang penyembuhannya tidak akan cepat atau relatif karena melihat kondisi para penyintas di dalamnya.

Reduksi tatanan budaya oleh dominasi nilai agama memberikan kontribusi terhadap kelanggengan bentuk bentuk pelecehan dan kekerasan seksual. Adanya reduksi informasi mengenai budaya tradisi di indonesia yang justru kaya dengan hal yang berhubungan dengan seksualitas akhirnya ditabukan secara perlahan dan menjadi nilai terbarukan yang menyebabkan masyarakat tidak menjadi paham akan kondisi tubuh sendiri yang seharusnya independen dan reduksi informasi ini bisa menyebabkan dampak yang meluas hingga pencarian informasi yang dianggap tidak kredibel pada akhirnya.

Cerita belum berakhir sampai di sana. Satu teman dari Semarang yang turut gabung dalam acara kemarin menggambarkan perlakuan terhadapnya dalam kacamata pelecehan seksual dan bagaimana proses penuntasannya menjadi seorang penyintas menemukan banyak tantangan. Sistem dukungan menyeluruh dan terintegrasi dari orang orang terdekat, masyarakat, institusi kredibel bahkan aparat hukum akan mempermudah mengeliminir pelecehan dan kekerasan seksual, sekaligus menegaskan pentingnya kita semua memaknai hak keadilan reproduksi sebagai hal yang manusiawi dan biasa

(Ditulis oleh Fanny S Alam, Koordinator Sekolah Damai Indonesia Bandung)

Link : https://www.bsopindonesia.org/

TERBARU

Konten Terkait