Aliansi Indonesia Damai- “Hal kecil untuk perdamaian lebih baik dari hal besar untuk kekerasan.” Inilah slogan hidup Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme. Kalimat itu juga menjadi judul paparannya dalam kegiatan Pengajian Daring Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya yang digelar AIDA, Rabu (02/12/2020). Kegiatan diikuti oleh civitas academica Universitas Muhammadiyah Sukabumi.
Kurnia mengaku terlibat dalam jaringan ekstremisme kekerasan sejak duduk di bangku SMA di Lampung. Saat menempuh kuliah di salah satu perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung, pemahaman ekstrem Kurnia semakin kuat. Ia rajin mengikuti kajian yang digelar oleh kelompoknya. Puncaknya ia melakukan pelatihan militer dan merakit bom sebagai bentuk persiapan jihad. Akibat perbuatan itu, Kurnia ditangkap polisi dan harus menjalani hukuman penjara di Lapas Cipinang selama beberapa tahun.
Selama di Lapas, ia banyak melakukan refleksi dan diskusi dengan pelbagai pihak, seperti petugas Lapas dan ustaz-ustaz di luar kelompoknya. Melalui proses itu secara perlahan Kurnia memutuskan bertobat dan keluar dari kelompoknya dahulu, bahkan kini ia terlibat dalam pelbagai kampanye perdamaian, termasuk bersama AIDA. Dari paparannya, salah seorang peserta menanyakan tentang cara mengidentifikasi organisasi yang menyimpang serta mencegah paham tersebut menyebar di lingkungan kampus.
Kurnia mengungkapkan, ada beberapa ciri yang sangat mencolok dari kelompok ekstremis, salah satunya mudah mengkafirkan orang di luar kelompoknya. Mereka juga menganggap Indonesia adalah negara kafir yang wajib untuk diperangi dengan menempuh cara teror seperti pengeboman dan penembakan terhadap sasaran acak.
Dalam hemat Kurnia, Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara kafir. “Kita bebas untuk menjalankan ibadah sesuai dengan kepercayaan masing-masing. Dan Indonesia ini dibangun atas peran ulama di dalamnya,” ucapnya.
Terkait bagaimana mencegah penyebaran paham ekstremisme, Kurnia menyarankan agar siapa pun menjaga pergaulannya. “Harus pandai dalam memilih pertemanan,” katanya.
Melengkapi penjelasan Kurnia, Hasibullah Satrawi, penulis buku La Tay’as menyampaikan beberapa langkah mencegah penyebaran ekstremisme kekerasan, salah satunya dengan memerkuat literasi, banyak membaca dari pelbagai sumber, dan bersikap kritis. Menurut dia, konsep jihad perang adalah langkah denfensif dan mempunyai syarat dan ketentuan ketat yang harus diperhatikan.
Dalam hematnya, kita diperbolehkan belajar teori apa pun, namun harus diiringi sikap kritis.
“Apabila sebuah teori sudah membolehkan melakukan kekerasan atas nama apa pun maka kita harus tarik tuas rem, jangan lanjut,” kata Hasibullah.
Hasibullah yang juga Ketua Pengurus AIDA berharap agar kegiatan ini dapat mendorong semua pihak agar terlibat dalam upaya-upaya perdamaian sebagai wujud jihad di era kini. Hal itu untuk menyelamatkan kita semua agar tidak menjadi pelaku dan menjadi korban.
Link : https://www.aida.or.id/2020/12/7940/dialog-pelajar-man-2-klaten-dengan-penyintas-bom